Pakar ITS Ungkap Beban Negara Triliunan Rupiah di PLTS Atap

CNN Indonesia
Jumat, 13 Agu 2021 08:26 WIB
PLTS Atap. (ANTARA FOTO/Widodo S Jusuf/aww/17)
Jakarta, CNN Indonesia --

Demi mengejar bauran energi terbarukan 23 persen pada 2025 dan Zero Emission pada 2060, pemerintah terus mendorong percepatan penggunaan energi terbarukan, khususnya yang memanfaatkan sumber daya matahari.

Di sisi lain, Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dinilai akan menambah beban APBN hingga triliunan rupiah untuk biaya kompensasi bagi para pemasang. Di Indonesia, instrumen pembangkit ini dikenal dengan PLTS Atap.

Mukhtasor, pakar energi dari Institut Teknologi Surabaya (ITS), mengatakan sebagai gambaran, PLTS akan mendorong biaya produksi hingga 30 persen lebih tinggi jika dibandingkan dengan PLTU gas.

"Jadi kalau kita membangun atap dengan PLTS, di sana akan ada biaya produksi tambahan. Ada istilah ada green cost, ada balancing cost. Akan ada peningkatan (biaya). Dan ini akan ditanggung oleh negara," ujarnya dalam tayangan Indonesia Forward di CNN Indonesia TV pada Kamis (12/8)

Berdasarkan perhitungan kasar yang dilakukan oleh pihaknya, untuk pemasangan PLTS berkapasitas 1 giga watt, akan ada biaya kompensasi senilai Rp1,5 triliun.

Selanjutnya, untuk pemasangan PLTS berkapasitas 5 giga watt, akan ada biaya kompensasi senilai Rp7,5 triliun.

Mukhtasor mengtakan dirinya sengaja membedakan biaya kompensasi dengan biaya subsidi.

Menurutnya, biaya subsidi adalah biaya yang dikeluarkan negara untuk diterima oleh rakyat yang memang berhak menerima amanah UUD 45, bahwa fakir miskin dan anak terlantar dibiayai oleh negara.

Sementara itu, biaya kompensasi merupakan biaya yang timbul akibat adanya kenaikan biaya produksi yang secara disengaja dan kemudian menjadi beban, lalu ditanggung oleh pemerintah.

"Apakah angka [Rp7,5 triliun] ini besar? Persoalannya bukan besar atau tidak, tetapi mampu atau tidak negara ini? Mampu tidak APBN-nya?" kata dia.

Mukhtasor menuturkan memang baik bagi masyarakat untuk memasang PLTS di atap rumahnya masing-masing. Aksi tersebut dinilai akan membantu menjaga keberlanjutan lingkungan dengan mengikis emisi karbon.

Di sisi lain, dengan memasang solar PV di atap rumah, masyarakat dapat melakukan penghematan pembayaran biaya listrik.

"Narasi yang dibangun adalah, bagi masyarakat memang bagus untuk membangun PLTS di atap rumahnya, karena menjadi investasi untuk. Artinya menjadi penghemat biaya listrik (rumah tangga), sehingga uangnya akan kembali. Narasi ini juga seharusnya berlaku bagi negara," katanya.

Artinya, jika ada biaya kompensasi senilai Rp7,5 triliun yang timbul akibat pemasangan 5 giga watt PLTS, biaya itu sebaiknya dimanfaatkan untuk mendorong industri nasional, baik para pelaku industri swasta maupun BUMN.

"Misalnya industri nasional, baik yang swasta maupun BUMN, itu dikonsolidasi. Ini ada potensi bisnis 5.000 mega watt. Kalau yang memproduksi adalah industri dalam negeri, itu dipakai agar harga listrik itu bisa turun, sehingga masyarakat tidak terdampak dengan kenaikan harga dan di saat yang sama energi terbarukan juga berkembang, emisi karbon turun," katanya.

Baca soal transisi penggunaan Energi di halaman berikutnya...

Artikel ini merupakan bagian dari kampanye "Energi dari Negeri" mengenai RUU Energi Baru dan Terbarukan

Transisi Penggunaan Energi


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :

TOPIK TERKAIT