RI Diramal Marak IPP PLTS Atap Usai UU EBT dan Permen Baru

CNN Indonesia
Senin, 23 Agu 2021 20:43 WIB
PLTS Atap. (Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Pengamat isu energi meminta revisi aturan terkait dengan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap dapat memenuhi aspek keadilan dan keberlanjutan pelayanan publik, daripada mempriotaskan bisnis dan keuntungan ekonomi.

Indonesian Resources Studies (IRESS) menyatakan selain sejumlah hal penting yang dinyatakan dalam rencana perubahan Permen ESDM terkait dengan PLTS Atap, ada sejumlah hal yang perlu mendapatkan perhatian.

"IRESS mengapresiasi upaya pemerintah merevisi Permen Nomor 49/2018 guna mencapai berbagai tujuan ideal energi nasional. Namun, hal tersebut harus dicapai dengan tetap memperhatikan aspek-aspek konstitusional, legal, keadilan, kebersamaan, keberlanjutan pelayanan publik, dan berbagai kepentingan strategis nasional," ujar Marwan Batubara, Direktur Eksekutif IRESS, Senin (23/8).

Sebagaimana diketahui, pembahasan Rancangan UU Energi Baru dan Terbarukan (EBT) terus bergulir di Senayan.  Salah satunya mengatur soal penggunaan PLTS Atap sebagai bagian bauran energi di Indonesia. Namun, biaya produksi jenis pembangkit ini diperkirakan banyak pengamat melonjakkan anggaran yang ditanggung negara

Pada saat yang sama, pemerintah melalui Kementerian ESDM juga berencana segera menerbitkan aturan baru terkait Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap, sebagai revisi atas Permen ESDM Nomor 49/2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero)

Salah satu ketentuan yang menjadi sorotan IRESS adalah perubahan skema tarif ekspor-impor listrik net-metering dari 0,65:1 menjadi 1:1 yang dinilai bakal memicu perburuan cuan di sektor bisnis energi terbarukan.

Pada saat ini, ketentuan tarif net-metering 0,65:1 mengacu pada Permen ESDM Nomor 49/2018, yang berarti konsumen ketika mengkonsumsi atau mengimpor listrik dari PLN, tarifnya adalah X per kWh. Sementara pada saat konsumen mengekspor listrik dari storage rumah mereka masing-masing ke jaringan PLN, tarifnya adalah 0,65 X per kWh.

Selisih angka dari skema 0,65:1 itulah yang dipakai PLN untuk membiayai sejumlah investasi dan infrastruktur kelistrikan.

IRESS memproyeksikan jika pengenaan skema tarif ekspor-impor net-metering berubah menjadi 1:1, maka akan mendorong sebagian warga yang memiliki modal untuk berbisnis listrik dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN. Hal ini bakal memicu menjamurnya independent power producer (IPP) mikro. Artinya, PLN melalui APBN berpotensi mengeluarkan ongkos yang lebih besar dengan skema baru tersebut.

"Kondisi yang seperti ini akan mengancam kelangsungan pelayanan listrik PLN yang berkelanjutan," katanya.

Menurut Marwan, tarif ekspor-impor 0,65:1 sesuai dengan Permen Nomor 49/2018 sudah cukup memadai dan menguntungkan konsumen. Pada saat yang sama, masyarakat dapat meraih gaya hidup sebagai pengguna energi bersih sekaligus membayar tagihan listrik yang lebih murah.

"Bahkan, kajian akademis terbaru oleh sejumlah pakar energi menyatakan bahwa tarif ekspor-impor listrik yang wajar dan adil adalah 0,56:1. Namun, karena telah terlanjur membuat aturan tarif ekspor-impor 0,65:1, maka cukup layak jika pemerintah mempertahankan dan konsumen pun memaklumi," tuturnya.

Diketahui, pengembangan pemanfaatan energi surya melalui PLTS, baik untuk pemasangan di atap maupun di atas tanah (ground-mounted), telah masuk ke dalam Rencanan Umum Pengembangan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019 - 2028 untuk pengembangan energi baru terbarukan.

Selain PLTS, strategi pengembangan EBT melingkupi PLT Panas Bumi, PLTA, PLTM, PLT Angin, PLT Bio Mass atau Sampah, Laut, dan Biofuel.

Mengacu data Kementerian ESDM, jumlah pelanggan PLN yang memasang PLTS Atap telah mencatatkan lonjakan signifikan dengan grafik yang konsisten bertumbuh sepanjang tiga tahun terakhir.

Berdasarkan catatan kementerian jumlah pelanggan PLTS Atap PLN per Januari 2018 mencapai 351 pelanggan.

Pada Juni 2021, jumlah pelanggan PLTS Atap PLN telah tumbuh lebih dari 10 kali lipat menjadi 3.913 pelanggan. Grafik kenaikan tersebut terutama terlihat sejak pemerintah menerbitkan Permen ESDM Nomor 49/2018 pada November 2018.

Para pelanggan datang dari sektor rumah tangga, bisnis, pemerintah, sosial, dan industri.

Mendorong Penggunaan PLTS Atap

Herman Darnel Ibrahim, Anggota Dewan Energi Nasional, menyebutkan bahwa pembangkit listrik memiliki karakter biaya yang berbeda-beda. Dia menyebutkan ada tipe pembangkit yang berbiaya investasi murah, tetapi memiliki biaya energi yang mahal.

Ada pula pembangkit yang berbiaya investasi mahal, tetapi mempunyai biaya variabel energi yang murah bahkan gratis.

"[Maksudnya] Energi primer atau bahan bakarnya. Kalau tenaga suryanya jelas gratis. Investasi surya juga tidak terlalu mahal. Cuman karenaintermittendan persediaannya hanya 4-5 jam per hari, maka itu yang membuat keekonomiannya tidak terlalu bagus," ujarnya.

Dia mengemukakan bahwa PLTS tergolong tipe pembangkit dengan biaya investasi cukup mahal, tetapi sangat berpotensi turun seiring dengan waktu dan pemakaian yang massal.

"Nanti kalau sudah marak, harganya bisa turun. Turun karena mass production, lalu volume penjualan dari pengusaha tinggi, dan tentunya tekanan kompetisi. Jadi kalau saat ini, sebetulnya energi surya sudah tidak ada masalah lagi untuk dipasang," ujarnya.

Herman menyebutkan bahwa rencana penetapan skema tarif ekspor-impor listrik net-metering sebesar 1:1 sebetulnya bertujuan baik, yakni untuk mendorong penggunaan PLTS Atap di kalangan masyarakat. Terkait dengan skema tarif 1:1, dia pun tidak menampik ada peluang bagi masyarakat untuk berbisnis dengan PLN.

"Sekarang ini kan sedang bicara harga 1:1. Kalau menurut saya, 1:1 itu untuk mendorong, itu baik. Tujuannya adalah supaya makin marak. Dan supaya kalau tadi tidak ada dapat untung PLN, ini kan bisa dibuat mekanisme kompensasi [dari negara melalui APBN]," katanya.

Menurut Herman, penerapan skema tarif 1:1 diperlukan agar masyarakat yang hendak memasang PLTS di atap rumahnya dapat mengajukan pinjaman ke perbankan tanpa perlu memberikan jaminan. Nanti, lanjutnya, selisih tarif yang ada dapat dibayarkan pelanggan untuk mencicil panel surya.

"Sehingga nanti panel surya itu tidak hanya konsumsi orang-orang dari kalangan elite. Kalau bayangan saya, nati semua rumah itu akan bisa mempunyai panel surya," katanya.

Lebih lanjut, Herman menyebutkan bahwa penerapan skema tarif ekspor-impor listrik sebesar 1:1 tersebut juga perlu dibatasi agar tidak sepenuhnya membebani PLN.

"Jadi tidak seluruhnya 1:1. Barangkali dari jumlah listrik yang dihasilkan [serangkaian PLTS Atap], sekitar separuhnya dikenakan tarif 1:1, dan sisanya tidak 1:1.

Artikel ini merupakan bagian dari kampanye "Energi dari Negeri" mengenai RUU Energi Baru dan Terbarukan

(asa/asa)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK