Tarif Listrik Diwanti-wanti Bisa Naik Gara-gara Proyek EBT

CNN Indonesia
Rabu, 25 Agu 2021 19:44 WIB
Sejumlah pengamat mengingatkan potensi kenaikan tarif listrik yang bakal ditanggung masyarakat di balik proyek energi baru terbarukan.
Ilustrasi. Sejumlah pengamat mengingatkan potensi kenaikan tarif listrik yang bakal ditanggung masyarakat di balik proyek energi baru terbarukan. (Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Percepatan bauran energi baru dan terbarukan dinilai tak hanya akan mengubah peta energi di Tanah Air, namun juga dapat menjadi sebab potensi naiknya tarif listrik yang ditanggung konsumen.

Hal itu dikemukakan oleh para pakar energi menyusul penggodokan regulasi di bidang energi baru terbarukan antara lain Rancangan Undang-undang tentang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) serta revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 49/2018 yang mengatur tentang pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).

Pasalnya, sejumlah klausul di kedua aturan strategis itu dinilai justru akan membawa impak yang memberatkan, baik bagi satu-satunya penyelenggara listrik milik negara yakni PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) maupun bagi masyarakat dan keuangan negara.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Guru Besar Fakultas Teknik Elektro Universitas Indonesia Iwa Garniwa menegaskan bahwa energi terbarukan, khususnya tenaga surya, memang energi masa depan dan masuk dalam komposisi target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025.

Namun, lanjutnya, hal itu jangan lantas menjadi fokus hal yang dikejar oleh pemerintah tanpa mengindahkan kondisi yang sedang terjadi, yakni kondisi over capacity tenaga listrik di PLN dan pandemi Covid-19 yang telah memukul ekonomi dan industri.

Jika pemerintah tetap memaksakan percepatan bauran energi terbarukan dengan tanpa mengindahkan kondisi tersebut, risiko kerugian membayangi PLN sekaligus APBN.

"Kalau tetap dipaksakan, biaya pokok listrik akan naik sehingga tarif pun naik. Kalau tarifnya naik, berarti bermasalah dengan masyarakat. Itu pilihan pertama. Pilihan kedua, tarif bisa tidak naik, tetapi pemerintah jadi nomboki. Kondisi yang sama-sama tidak bagus," kata Iwa, Rabu (25/8).

Kendati telah disosialisasikan dan saat ini tengah digodok di DPR RI, pembahasan RUU EBT masih terus memicu perdebatan. Sejumlah klausul dinilai akan menjadi 'jebakan batman' bagi PLN sebagai satu-satunya perusahaan listrik pelat merah.

Di antaranya pasal 24 dan pasal 40 yang menyebutkan bahwa PLN dapat ditugaskan oleh pemerintah untuk membeli tenaga listrik yang dihasilkan oleh energi baru serta diwajibkan untuk membeli tenaga listrik yang dihasilkan oleh energi terbarukan. Hal itu akan 'memaksa' PLN untuk membeli listrik yang dihasilkan IPP dalam kondisi apapun.

Di sisi lain, perubahan skema tarif ekspor-impor listrik net-metering dari 0,65:1 menjadi 1:1 sebagaimana diatur dalam revisi Permen ESDM Nomor 49/2018 akan memangkas pendapatan PLN sekaligus memicu masyarakat untuk berbondong-bondong memasang PLTS Atap dan berbisnis dengan PLN.

Di saat penggunaan PLTS Atap semakin massal dan PLN memproduksi sekaligus membeli listrik dari pembangkit energi baru terbarukan, akan timbul risiko kelebihan pasokan listrik dan kenaikan biaya pokok listrik.

Iwa menjelaskan ketika membuat biaya pokok produksi, PLN akan menghitung investasi dari pembangkit, transmisi, distribusi, hingga ke jumlah pelanggan, yang pada akhirnya akan memunculkan biaya.

Sementara itu, biaya pokok produksi adalah biaya dibagi kWh atau energi listrik yang digunakan pelanggan/dijual oleh PLN.

Di saat masyarakat beramai-ramai menggunakan PLTS Atap, penjualan energi oleh PLN menjadi berkurang. Akibatnya, biaya pokok produksi otomatis menjadi lebih tinggi, yang berdampak kepada kenaikan tarif listrik.

Belum lagi, tambahnya, PLN saat ini memiliki persoalan over capacity akibat permintaan yang tidak sesuai ekspektasi.

Di dalam listrik yang kapasitasnya luber tersebut, terdapat listrik swasta yang harus dibayar jika tidak digunakan. Artinya, ada tambahan beban yang ditanggung oleh PLN saat mengalami kondisi tersebut. Saat PLN mengalami risiko keuangan, pelayanan pun berpotensi terganggu.

"Tetapi jika diterapkan di Indonesia sekarang, apakah pemerintah tidak memikirkan apa yang saya sampaikan tadi? Jadi ya ini dilema. Sehingga saya menganggap, kenapa sih harus terburu-buru?" tutur Iwa.

Jika mengacu Pasal 24 RUU EBT, Pemerintah Pusat dapat menugaskan PLN atau badan usaha milik swasta untuk membeli tenaga listrik yang dihasilkan dari energi baru. Pemerintah Pusat juga dapat menugaskan perusahaan minyak dan gas bumi milik negara atau badan usaha milik swasta untuk membeli bahan bakar yang dihasilkan dari Energi Baru.

Khusus terkait dengan energi terbarukan, sebagaimana termaktub di Pasal 40, PLN wajib membeli tenaga listrik yang dihasilkan. Pemerintah Pusat juga dapat menugaskan badan usaha milik swasta yang memiliki wilayah usaha ketenagalistrikan untuk membeli tenaga listrik yang dihasilkan dari energi terbarukan.

Begitu juga dengan perusahaan minyak dan gas bumi milik negara atau badan usaha milik swasta yang dapat ditugaskan untuk membeli bahan bakar yang dihasilkan dari energi terbarukan.

Tidak Adil Sistemik

Hal senada dikemukakan oleh Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara. Banyaknya pihak yang menggencarkan penggunaan PLTS Atap untuk mengincar keuntungan membuat potensi pendapatan PLN menjadi berkurang. Akibatnya, tarif dasar listrik bisa membengkak, yang pada akhirnya menjadi beban seluruh pelanggan.

Atau, sebagaimana tercermin melalui Rancangan Undang-undang tentang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) yang mengatur tentang feed in tariff, kelebihan biaya itu akan ditanggung negara melalui APBN.

Di sisi lain, perubahan skema tarif ekspor-impor net metering menjadi 1:1 akan menguntungkan pemilik PLTS Atap yang umumnya merupakan golongan mampu dan merugikan PLN serta masyarakat non-pemilik PLTS Atap.

Marwan menjelaskan, karena memiliki dana berinvestasi di PLTS Atap, para konsumen berkategori mampu seolah dipersilakan untuk memanfaatkan sarana milik negara atau BUMN "for free".

"Secara sangat mendasar, terjadi ketidakadilan sistemik, di mana konsumen tak mampu justru 'dipaksa' mensubsidi konsumen 'mampu' berdasarkan aturan legal yang diterbitkan negara," tutur Marwan.

Lebih lanjut, dia pun menilai bahwa penerapan tarif ekspor-impor 1:1 seolah ingin segera diterapkan tanpa memperhitungkan kondisi supply-demand listrik PLN yang saat ini kapasitasnya luber.

"Kondisi ini akan memperparah beban keuangan PLN yang sangat dirugikan oleh skema take or pay listrik swasta atau IPP dan oleh kesalahan pemerintah merencanakan proyek listrik 35.000 MW," katanya.

Menurut dia, akibat asumsi pertumbuhan ekonomi [dan kebutuhan listrik] yang berlebihan, pembangkit-pembangkit yang dibangun IPP dapat dijadwalkan ulang atau diundur. Namun, sebagian besar sarana transmisi, distribusi dan gardu sebagai pendukung pembangkit IPP tersebut telah terlanjur dibangun PLN, yang menyebabkan naiknya beban biaya.

"Apalagi jika PLN harus menyerap 'pasokan atau ekspor' listrik swasta yang ingin digalakkan melalui tarif liberal 1:1. Beban biaya yang naik berarti BPP/tarif listrik juga naik," ujarnya.

Tarif Premium

Sebelumnya, Fabby Tumiwa, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (ISEA) menyebutkan bahwa draf RUU EBT memiliki sejumlah poin kebijakan yang positif untuk mendukung perkembangan energi terbarukan. Di antaranya terkait dengan renewable portofolio standard, kemudian ada yang terkait dengan insentif fiskal, pajak, finansial, dan lain-lain, serta insentif terkait dengan feed-in tariff.

Terkait dengan feed-in tariff, lanjutnya, kebijakan tersebut dinilai menjadi salah satu yang paling efektif dalam mendorong percepatan kenaikan kapasitas energi terbarukan di sejumlah negara di dunia.

Hanya saja, dia mengakui bahwa ada persoalan yang perlu diperhatikan terkait dengan ketentuan feed-in tariff yang dikemukakan pada RUU EBT. Feed-in tariff memberikan memberikan tarif premium kepada pengembang energi terbarukan, sehingga ada biaya-biaya yang perlu dibayar.

"Feed-in tariff itu bagus. Hanya menurut saya, kalau memang feed-in tariff itu dimasukkan ke dalam RUU, sedapat mungkin jangan menjadi beban PLN, tetapi di-passthrough ke pelanggan. Sebenarnya enggak terlalu besar juga nilainya," tegasnya.

Artikel ini merupakan bagian dari kampanye "Energi dari Negeri" mengenai RUU Energi Baru dan Terbarukan

(asa/asa)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER