Potensi Oligopoli, Ekonom Nilai UU Peternakan Perlu Direvisi
Ekonom sekaligus Guru Besar FEM IPB Didin Damanhuri menilai pemerintah perlu merevisi aturan di Undang-Undang (UU) 41 Tahun 2014 tentang Perubahan UU 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (UU Peternakan). Sebab, aturan UU tersebut memungkinkan praktik oligopoli oleh segelintir pihak di industri perunggasan.
Salah satu aturan menyebut penyelenggaraan peternakan dapat dilakukan secara tersendiri dan/atau terintegrasi. Namun, pada praktiknya di lapangan, integrasi ini rupanya banyak dilakukan oleh beberapa perusahaan yang sama dari hulu ke hilir, sehingga menciptakan oligopoli.
"Padahal, prinsipnya seharusnya tidak boleh begitu dan UU seharusnya tidak boleh ada unsur hukum yang negosistik, yang bisa dinegosiasikan, tidak boleh ada integrasi vertikal," tutur Didin di Webinar Arah Pengembangan Industri Perunggasan, Jumat (27/8).
Sementara, menurut catatannya, jumlah pemain di industri perunggasan hanya sekitar 12 perusahaan untuk sektor pembibitan kategori ayam hasil persilangan (Grand Parents Stock/GPS).
Begitu juga di sektor ayam karkas, ayam berusia 10-14 hari (Day Old Chicken/DOC), dan pakan ayam. "Pembibitan GPS sangat terbatas dan mengurangi tingkat persaingan pelaku usaha," imbuhnya.
Menurutnya, praktik oligopoli ini memberikan risiko bagi pasar. Sebab, penguasaan oleh segelintir perusahaan bisa mempengaruhi harga ayam yang dijual produsen ke konsumen di pasar.
Karenanya, aturan ini perlu dilihat kembali. Selain itu, ia juga meminta agar Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk menindak tegas praktik-praktik penguasaan pasar oleh segelintir pihak.
Ekonom INDEF Tauhid Ahmad menambahkan sengkarut penguasaan oleh segelintir pihak di sektor perunggasan sejatinya juga terjadi karena minimnya akses dan kepemilikan modal para peternak rakyat. Karena itu, akses modal ini perlu ditingkatkan.
"Karena industri ini investasinya juga tidak murah. Lalu hilirnya, ini caranya bagaimana mengurangi integrasi vertikal? Bisa dengan kemitraan, tapi terakhir, memang aturannya harus diatur ulang agar bisa lebih berkeadilan, tetapi kalau dilarang, maka perlu solusi lain," jelas Tauhid.
Komisioner KPPU Ukay Karyadi mengatakan indikasi integrasi vertikal sejatinya tidak bisa dibantah oleh pasar karena aturannya memang memperbolehkan demikian. Hal ini yang kemudian membuat stuktur pasar oligopoli tercipta dengan sendirinya.
"Struktur pasarnya memang oligopoli, untuk membenahinya tentu perlu di hulu dulu, baru ke hilir. Karena percuma kita jumpalitan bersihkan hilir, tapi hulunya masih terus keruh, ya susah, dan ini terkait erat dengan kebijakan dan aturan yang ada," terang Ukay.
Kendati begitu, KPPU bukan berarti diam. Sebab, KPPU sudah pernah meminta uji materi (judicial review) atas UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada beberapa tahun lalu, namun ditolak.
"Bila ada ketidaksetujuan, bisa diajukan lagi saja proposal agar UU tersebut direvisi," ucapnya.
Terkait usulan revisi ini, Kementerian Pertanian tidak memberi komentar. Kepala Seksi Ternak Unggas Direktorat Pembibitan dan Produksi Ternak Kementan Iqbal Alim menyatakan bahwa kementerian terus berusaha mendorong pelaku usaha di sektor perunggasan untuk melakukan kemitraan, sehingga pemain yang terlibat semakin banyak, khususnya yang merupakan peternak rakyat.
"Tentunya pada setiap permasalahan, kita akan mengambil kebijakan yang bisa langsung berdampak ke peternak, seperti yang selama ini kita antisipasi dengan cuting stock, penyerapan, dan lainnya. Tapi kami juga berharap ada kemitraan di perunggasan," ungkap Iqbal.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengungkap kekhawatiran harga ayam cenderung berfluktuasi di pasar akibat penguasaan industri oleh segelintir pihak bisa dicegah dengan kebijakan harga acuan dari kementeriannya.
Ketentuan ini tertuang Peraturan Menteri Perdagangan (Kemendag) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen. Dalam aturan tersebut, kementerian menetapkan harga batas bawah ayam hidup (live bird) di tingkat peternak sebesar Rp19 ribu per kilogram (kg) dan harga batas atas Rp20 ribu per kg.
Sementara, harga batas bawah DOC di tingkat peternak sebesar Rp5.000 per kg dan harga batas atasnya Rp6.000 per kg. Sedangkan, harga batas bawah telur di tingkat peternak senilai Rp19 ribu per kg dan harga batas atasnya Rp20 ribu per kg.
"Tapi kebijakan harga ini tidak mengikat ke pelaku usaha. Karena harga juga tetap mengikuti perkembangan pasar. Tapi kalau terlalu tinggi, pemerintah tidak lakukan apa-apa ke pedagang, tapi kita melakukan intervensi dengan operasi pasar," tutur Oke.
Intervensi ini, sambung dia, biasa dilakukan dengan cara mengupayakan agar harga di tingkat petani berada di bawah harga batas atas. Lalu, memberikan usulan penugasan ke BUMN ke Kemenko Perekonomian dan pengambilan keputusan penugasan BUMN bila sudah ada hasil dari rapat koordinasi di tingkat menteri.