Transisi energi dari energi fosil ke energi terbarukan yang lebih bersih dinilai akan dapat mengurangi beban negara jika dilakukan dengan strategi yang tepat. Oleh karena itu, langkah transisi sebaiknya tidak dilakukan secara tergesa-gesa dan dipaksakan.
Hal itu mengemuka dalam dialog Indonesia Forward mengenai RUU EBT Berpeluang "Memukul" Keuangan Negara yang digelar oleh CNN Indonesia TV pada Kamis (9/9) malam.
Arifin Rudiyanto, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas, menyebutkan bahwa pengembangan energi terbarukan tidak dapat dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah melalui APBN, melainkan perlu peranan swasta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pihaknya juga sudah menyiapkan berbagai skema pembiayaan inovasi untuk mendorong peran swasta dalam pengembangan ekonomi terbarukan. Beberapa di antaranya skema financing, kerja sama pemerintah dan badan usaha, serta crowd funding.
"Financing, kerja sama pemerintah dan badan usaha, juga crowd funding akan menjadi tumpuan transisi energi," katanya.
Dia menegaskan bahwa pengembangan energi terbarukan saat ini memang memerlukan dukungan pembiayaan. Akan tetapi, lanjutnya, semakin lama harga energi terbarukan akan semakin terjangkau dengan semakin matangnya teknologi dan semakin banyaknya pemanfaatannya.
"Artinya, economic of scale-nya meningkat," kata Arifin.
Menurutnya, transisi energi justru memiliki tujuan untuk mengurangi beban keuangan negara.
Transisi energi merupakan upaya untuk mengurangi secara bertahap hingga akhirnya menghentikan penggunaan energi fosil yang selama ini telah menyedot anggaran negara dalam bentuk subsidi langsung maupun tidak langsung, baik dari sisi pengusahaan maupun konsumsi.
"Subsidi yang ternyata justru membebani keuangan negara karena harus diimpor maupun salah sasaran. Dengan demikian, transisi energi dari energi fosil ke energi yang lebih bersih akan mengurangi beban negara jika dilakukan dengan strategi yang tepat," katanya.
Pada prinsipnya, lanjutnya, transisi ke energi terbarukan merupakan upaya jangka panjang, bukan jangka pendek.
Transisi ini juga merupakan bagian dari keinginan pemerintah untuk membangun ekonomi yang lebih kuat. "Kalau selama ini kita mengandalkan hulunisasi sumber daya alamnya, ke depan kita akan berdayakan hilirisasi akan kita giatkan," katanya.
Diketahui, saat ini DPR tengah menggodok RUU Energi Baru Terbarukan (EBT) yang memuat sejumlah pasal tentang kewajiban PLN untuk membeli listrik dari pengembang EBT. Sejumlah pakar energi mengkritik hal itu akan memberikan dampak dua hal yakni keuangan negara akan terbebani karena harus menanggung biaya tersebut melalui PLN, atau dibebankan kepada masyarakat dengan kenaikan tarif listrik.
Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif reforminer Institute, sepakat bahwa transisi energi ke energi terbarukan harus dilakukan secara hati-hati.
Dia menyebutkan bahwa transisi tersebut memiliki tujuan yang positif, sudah menjadi komitmen pemerintah, sudah ditetapkan di dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), juga sudah diratifikasi pada Paris Agreement.
Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan sektor energi terbarukan memang sudah menjadi bagian dari komitmen bersama.
Namun, dia mengingatkan bahwa ada risiko yang akan ditanggung apabila Indonesia mendorong langkah pengembangan energi terbarukan secara masif. Pasalnya, ada selisih antara biaya pokok produksi (BPP)dan harga jual dari energi terbarukan yang dapat menjadi tambahan beban subsidi anggaran.
"Tetapi yang perlu kita sadari bahwa antara pertumbuhan ekonomi dengan aspek lingkungan harus balance. Biasaya negara-negara di dunia akan fokus pada pertumbuhan, setelah titik tertentu baru fokus pada lingkungan," kata dia.
Oleh karena itu, lanjutnya, umumnya terdapat rasio antara GDP per kapita dengan kerusakan lingkungan. Saat ini, ujarnya posisi GDP per kapita Indonesia masih sangat rendah apabila dibandingkan dengan negara-negara maju, yakni hanya 3.121 per 2020.
Sementara itu, sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat sudah mencapai level GDP per kapita sebesar 63.000, Singapura sebesar 58.000, dan rata-rata negara di Eropa sudah memiliki GDP per kapita lebih dari 30.000.
"Jadi perbandingannya sangat jauh. Apakah kita yang GDP-nya masih di 3.000-an itu harus berkomitmen seperti negara-negara yang GDP per kapitanya sudah di kisaran 60.000? Harus kita tanyakan kembali kepada kita," ujar Komaidi.
Abra Talattov, Ekonom INDEF, menyebutkan bahwa percepatan pengembangan energi terbarukan demi mengejar target bauran sebesar 23 persen pada 2025 sangat dipaksakan.
"Kalaupun kita mau, kita bisa. Tetapi ini sangat memaksakan," katannya.
Pertama, pemerintah memaksakan PLN untuk menyerap hasil dari produksinya.
Kedua, pada saat ini pemerintah juga secara paralel menyiapkan aturan yang merevisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 49/2018. Salah satu klausulnya adalah mengubah skema tarif ekspor listrik net-metering dari 65% menjadi 100%.
"Ini juga ada potensi tambahan beban bagi PLN. Kalau bukan PLN yang akan menanggung, siapa? Pasti dari APBN. Kalau APBN secara politik juga sulit memberikan tambahan kompensasi buat PLN, ya artinya ujung-ujungnya masyarakat juga yang akan dikorbankan," katanya.
Abra menegaskan bahwa pihaknya bukan menolak RUU EBT maupun revisi Permen ESDM. Pihaknya justru menerima rencana pengembangan energi terbarukan. Namun, dia mengingatkan untuk secara hati-hati melihat situasi yang ada.
"Jangan sampai PLN yang kita harapkan mendukung transisi energi ini secara smooth, di tengah jalan mengalami goncangan," katanya.
Artikel ini merupakan bagian dari kampanye "Energi dari Negeri" mengenai RUU Energi Baru dan Terbarukan
(asa/asa)