BPR Bisa Beli Agunan Kredit Macet Nasabah
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dapat membeli sebagian atau seluruh agunan kredit macet nasabah. Hal itu usai Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materiil Pasal 12A ayat (1) Undang-undang (UU) Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Putusan Nomor 102/PUU-XVIII/2020 ini dibacakan pada Rabu (29/9) di Ruang Sidang Pleno MK atas permintaan pengujian dari Direktur Utama PT Bank Perkreditan Rakyat Lestari Bali selaku pemohon.
"Amar putusan mengadili mengabulkan permohonan Pemohon; menyatakan frasa "Bank Umum" dalam Pasal 12A ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat," ucap Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusan, seperti dikutip dari keterangan resmi.
Dengan demikian, Pasal 12A ayat (1) UU Perbankan menjadi berbunyi "Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal Nasabah Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya".
Sebelumnya, Pribadi mengajukan pengujian Pasal 12A ayat (1) UU Perbankan mengenai aturan yang hanya memperbolehkan bank umum mengambil alih agunan nasabah kredit macet dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Pemohon mengungkapkan mengalami kerugian dengan pemberlakuan frasa "Bank Umum" dalam UU Perbankan. Pasalnya, aturan tersebut hanya memperbolehkan bank umum yang dapat mengambil alih agunan nasabah debitur macet melalui lelang. Sementara hak yang sama tidak dimiliki oleh BPR.
Hal ini menyebabkan perlakuan diskriminatif dan ketidakadilan untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan layaknya sama dengan bank umum untuk dapat mengambil alih agunan nasabahnya melalui lelang untuk menyelesaikan masalah kredit macet nasabah.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Mahkamah menilai pada dasarnya BPR memiliki peran yang tidak jauh berbeda antara bank umum, bank umum syariah, dan BPR Syariah dalam memberikan layanan di bidang keuangan kepada masyarakat.
Dalam hal ini, beberapa jenis usaha BPR pada umumnya memiliki kesamaan dengan bank umum yaitu meliputi menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, memberikan kredit, dan menyediakan pembiayaan bagi nasabah.
Terlebih, ketentuan Pasal 15 UU 7/1992 menyatakan dengan tegas bahwa ketentuan dalam Pasal 8 dan Pasal 11 UU 7/1992 dan UU 10/1998 yang merupakan bagian pengaturan tentang usaha Bank Umum juga diberlakukan untuk usaha BPR.
Berbeda dengan BPR, bank umum dapat menjalankan jasa lalu lintas pembayaran. Namun, dalam kaitannya dengan persoalan dalam permohonan a quo, baik bank umum dan BPR sama-sama dapat menjalankan usaha pemberian pinjaman.
"Terlebih lagi, ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU 10/1998 dengan tegas menyatakan "Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan," ungkap Enny.
Menurut Mahkamah, jika kondisi BPR tidak bisa membeli agunan kredit macet nasabah, sangat mungkin sebagian besar atau keseluruhan BPR akan mengalami kesulitan untuk berkembang bahkan dapat terancam usahanya ditutup. Terlebih, pandemi belum berakhir.
Padahal, peran BPR juga tak kalah penting dalam mendukung perekonomian nasional. Oleh karena itu, sudah seharusnya pula BPR mendapat kesempatan yang sama dengan bank umum dalam mempertahankan keberlangsungan usahanya.