Pengamat Perpajakan Universitas Pelita Harapan (UPH) Ronny Bako menilai aturan ini diberlakukan dengan maksud agar Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat melakukan cek silang di instansi berbeda. Ujung-ujungnya, DJP bisa meraup pendapatan baru dari mereka yang mendapatkan pelayanan publik.
Ronny menyebut saat ini DJP masih kesulitan untuk melacak aktivitas masyarakat dan harus meminta data langsung ke instansi pelayanan publik.
Tapi masalahnya, kata dia, RI belum punya satu data tersentra atau central big data di mana seluruh data KL dan kementerian tercatat dan diintegrasikan. Bila setiap instansi masih mencatat masing-masing, ia meyakini implementasi di lapangan bakal jauh dari maksimal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya tahap pertama yang harus dipenuhi dalam implementasi adalah central big data yang dipakai dan menjadi acuan setiap instansi. Absennya data terpusat membuat setiap kementerian punya pendataan masing-masing yang tumpang tindih.
"Harus terpusat jadi ketika orang dihukum akan ketahuan dia punya rentetan utang ke mana, bayar pajak atau tidak, sekarang orang dihukum target pajaknya engga tahu di mana," kata dia.
Di sisi lain, ia menambahkan bahwa pemerintah perlu menurunkan tarif pajak guna menyaingi Singapura, surga para taipan Indonesia menyimpan hartanya. Ia optimis bila tarif pajak diturunkan maka kepatuhan pun akan naik.
Tak sampai di situ, ia menilai transformasi pajak juga harus dilakukan dengan cara memperkuat DJP. Ia menganjurkan agar DJP menjadi kementerian terpisah dari Kementerian Keuangan dan diawasi langsung oleh Presiden.
Menurut dia, praktik serupa telah diterapkan oleh Amerika Serikat (AS) lewat Internal Revenue Service (IRS) yang bertanggungjawab langsung kepada Pemerintah Federal.
Ia menyebut reformasi perpajakan yang dilakukan pemerintah selama puluhan tahun guna menyadarkan pentingnya kepatuhan pajak masih jalan di tempat, sehingga ia menilai perlu ada langkah yang lebih berani dari pemerintah.
"Jangan reformasi pajak tapi transformasi. Reformasi menyasar tingkat kesadaran dari 1983 sampai sekarang gitu, ini sudah 2021 bukan reformasi lagi tapi transformasi," tutupnya.
(agt)