Kabul Terancam Gelap Gulita Jika Taliban Gagal Bayar Listrik
Kabul, ibu kota Afghanistan berpotensi mati listrik karena Taliban tak membayar iuran pemasok listrik Asia Tengah.
Eks Kepala Eksekutif Otoritas Kekuasaan Negara Da Afghanistan Breshna Sherkat (DABS) Daud Noorzai mengatakan situasi itu akan menyebabkan bencana kemanusiaan.
Noorzai yang telah mengundurkan diri sebagai Kepala Eksekutif Otoritas Kekuasaan DABS tetap berhubungan dekat dengan DABS.
Lihat Juga : |
"Konsekuensinya akan berlaku di seluruh negeri, tetapi terutama di Kabul. Pemadaman listrik akan membawa Afghanistan kembali ke abad kegelapan dalam hal kekuasaan dan telekomunikasi," ungkap Noorzai, dikutip dari Business Standard yang mengutip The Wall Street Journal (WSJ), Senin (4/10).
Impor listrik dari negara tetangga, seperti Uzbekistan, Tajikistan, dan Turkmenistan menyumbang setengah dari konsumsi listrik Afghanistan.
Menurut WSJ, produksi listrik dalam negeri terkena dampak kekeringan tahun ini. Afghanistan sendiri tak memiliki jaringan listrik nasional dan Kabul hampir sepenuhnya bergantung pada listrik impor dari Asia Tengah.
Saat ini, kekuatan di Kabul terbilang melimpah karena Taliban tak lagi menyerang jalur transmisi dari Asia Tengah. Namun, situasi ini bisa berubah jika hubungan antara pemasok Asia Tengah dengan Taliban menurun.
Lihat Juga : |
Beberapa lembaga internasional, seperti PBB telah menyuarakan keprihatinan tentang situasi ekonomi yang mengerikan di Afghanistan. Pasalnya, hal ini akan memperburuk krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung.
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrel mengatakan Afghanistan sedang menghadapi krisis kemanusiaan yang serius.
"Afghanistan adalah salah satu negara termiskin di dunia dengan lebih dari sepertiga penduduknya hidup kurang dari US$2 per hari," kata Borrel.
Penduduk Afghanistan, sambung Borrel, bergantung pada bantuan selama selama bertahun-tahun. Ia menyebut bantuan internasional menyumbang 43 persen dari PDB negara dan 75 persen gaji yang dibayarkan untuk pegawai negeri berasal dari bantuan asing sepanjang 2020.
Diplomat Uni Eropa mencatat bahwa bantuan internasional itu digunakan untuk membiayai defisit perdagangan sekitar 30 persen dari PDB.
"Afghanistan harus mengimpor semua produk industri, semua bahan bakar fosil, dan sebagian besar gandung yang diperlukan untuk memberi makan negara yang jauh dari swasembada," ungkap diplomat tersebut.