Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan mengamini pernyataan Faisal Basri bahwa terjadi kebocoran ekspor bijih nikel. Namun, ia mengaku masih mencari data pasti angka kebocoran tersebut.
Ia menilai sebenarnya kebocoran bisa saja dilacak pemerintah dari jumlahnya dan perusahaan mana yang mengekspor secara ilegal. Bila terbukti, ia menilai seharusnya pemerintah langsung menindak keras dengan mencabut izin ekspor karena aturan sudah juga sudah ada.
Mamit menyebut pemerintah mesti tegas karena kebocoran ini masuk dalam pidana merugikan negara. Bahkan ia menyarankan untuk menggandeng kepolisian untuk mengusut soal kebocoran ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Potensi kerugian negara cukup besar, harus ditindaklanjuti laporan ini ke Dirjen Minerba dan KL, seperti Kementerian Perindustrian dan Bea Cukai," kata dia.
Ia menyebut syarat hilirisasi menjadi salah satu hal yang dikeluhkan oleh pengusaha sekaligus mendorong penjualan ilegal bijih nikel mentah. Mamit menyebut pengusaha masih lebih senang menjual biji nikel mentah karena tak perlu mengeluarkan investasi jor-joran.
Di sisi lain, ia juga mengatakan hilirisasi di RI belum optimal. Pemerintah, kata dia, memang gembar-gembor soal pembangunan smelter tapi kenyataannya realisasi kerap molor. Tengok saja smelter PT Freeport Indonesia di Gresik yang baru diresmikan (ground breaking) meski janji sudah dilontarkan sejak 2014.
Mamit berpendapat hingga kini hilirisasi nikel Indonesia belum maksimal karena keengganan pengusaha membangun smelter.
"Pembangunan smelter selama ini investasi mahal, saya berharap 2024 atau 2025 sudah banyak perusahaan yang merealisasikan smelter terlihat hasilnya," papar Mamit.
Itu pun, lanjutnya, kebocoran yang disoroti baru dari nikel saja, belum dari komoditas pertambangan lain yang juga rentan bocor, seperti batu bara, tambaga, dan lain-lain.
(wel/agt)