ANALISIS

Pemerintah Perlu Bebaskan Pajak Supaya Harga PCR Murah

Yuli Yanna Fauzie | CNN Indonesia
Rabu, 10 Nov 2021 07:00 WIB
Pengamat menilai pemerintah perlu membebaskan pajak pertambahan nilai (PPN) dari tes PCR agar harganya bisa lebih murah.
Pengamat menilai pemerintah perlu membebaskan pajak pertambahan nilai (PPN) dari tes PCR agar harganya bisa lebih murah. Ilustrasi. (CNN Indonesia/Adi Maulana Ibrahim).
Jakarta, CNN Indonesia --

Pemerintah sudah beberapa kali menurunkan harga tes PCR bagi masyarakat. Harga tes covid-19 itu semula sempat mencapai jutaan kini tinggal Rp275 ribu untuk wilayah Jawa-Bali dan Rp300 ribu untuk luar Jawa-Bali.

Kendati begitu, hal ini rupanya tidak membuat sejumlah pihak puas. Pasalnya, harga yang bisa turun dari jutaan ke ratusan ribu itu, dilihat seharusnya bisa lebih murah lagi agar seluruh masyarakat bisa menjangkau harga tes tersebut.

Salah satunya Anggota Komisi VI DPR Andre Rosiade. Ia bahkan meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa menurunkan harga PCR sampai di bawah Rp200 ribu. Toh, hitung-hitungannya memperkirakan harga riil tes tertinggi cuma Rp170 ribu, itu pun sudah termasuk keuntungan bagi produsen.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Harapan saya ini didengar Menteri BUMN, Menteri Kesehatan, Pak Presiden, Indonesia bisa PCR-nya di bawah Rp200 ribu, India saja bisa, meski kita apresiasi juga bahwa harga PCR kita (sekarang) termurah di ASEAN, tapi kita bisa di bawah Rp200 ribu," ucap Andre di Gedung DPR/MPR, Selasa (9/11).

Sementara Direktur Utama PT Bio Farma (Persero) Honesti Basyir buka-bukaan soal struktur harga PCR di perusahaannya. Menurut catatannya, porsi tertinggi ada di biaya produksi dan bahan baku mencapai 55 persen dari total harga.

Sisanya, biaya operasional sebesar 16 persen, biaya distribusi termasuk keuntungan distributor 14 persen, royalti 5 persen, dan keuntungan untuk Bio Farma 10 persen. Sedangkan harga alat PCR kit (reagen) yang menjadi komponen utama tengah diupayakan turun dari Rp193 ribu menjadi Rp89.100 per tes beserta pajak.

Ia mengklaim harga ini sudah turun jauh dari awal-awal pandemi covid-19, tepatnya dari Rp325 ribu per tes sebelum pajak pada Agustus 2020. Lalu sempat menjadi Rp250 ribu, kemudian Rp113.636 per tes sebelum pajak per Agustus 2021.

"Tapi ini tergantung pada lab masing-masing dan bisnis model. Mungkin ada beda dari lab Kimia Farma dan lainnya karena mereka punya lab yang lebih besar," ujar Honesti.

Kendati sudah turun, ia masih menyanggupi bila publik ingin harga PCR lebih rendah lagi ke depan. Caranya dengan menggenjot kapasitas produksi dan melakukan inovasi produk.

Misalnya, saat ini salah satu alat tes PCR perusahaan dengan merek mBioCov tengah diupayakan peningkatan kapasitas produksinya sekitar dua kali lipat dari 2,4 juta menjadi 5 juta tes per bulan.

Sementara dari sisi inovasi produk, ia melihat alat tes PCR terbarunya BioSaliva memungkinkan biaya alat pelindung diri (APD) tidak perlu masuk ke komponen harga PCR secara keseluruhan karena tenaga kesehatan tidak perlu APD saat melakukan uji sampel.

"Tentu ada excess sederhana yang akan kami lakukan, masih ada celah (untuk penurunan harga), tapi berapa persennya, itu yang belum kita hitung. Kami akan berusaha sampai level berapa harga PCR bisa diturunkan, tapi kita yakin masih bisa," ungkapnya.

Lalu apa komponen harga PCR yang sekiranya bisa diturunkan atau bahkan dihilangkan dari struktur agar tes covid-19 ini lebih terjangkau bagi seluruh masyarakat?

Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan satu-satunya komponen yang paling tepat adalah menghapus pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) dari harga PCR. Sebab, komponen ini menjadi satu-satunya yang paling bisa diintervensi oleh pemerintah.

"Sebaiknya pemerintah tidak perlu memungut PPN dari PCR," kata Bhima kepada CNNIndonesia.com.

Caranya? Pemerintah bisa menanggung pungutan pajak tersebut melalui subsidi. Toh, di sisi lain, kesediaan anggarannya ada di APBN. Khususnya dari dana pemulihan ekonomi nasional (PEN).

Tercatat, realisasi dana PEN baru terpakai Rp456,35 triliun atau 61,3 persen dari pagu Rp744,77 triliun per 5 November 2021. Padahal, tahun anggarannya kurang lebih tinggal sebulan ke depan, sehingga kemungkinan dana yang tidak terserap akan tinggi.

"Pemerintah masih memiliki sisa stimulus PEN yang diperkirakan sekitar 20-30 persen dari total alokasi PEN tidak terserap sampai akhir tahun atau setara Rp223 triliun," terangnya.

Selain masih punya dana PEN, pemerintah juga masih punya sisa lebih anggaran (SiLPA) yang diperkirakan berkisar Rp169 triliun per akhir September 2021. "Dana tersebut sebaiknya direalokasi secepatnya," imbuhnya.

Bersambung ke halaman berikutnya...


HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER