Jakarta, CNN Indonesia --
PT Bio Farma (Persero) buka-bukaan soal struktur harga tes covid-19 skema tes PCR. BUMN farmasi ini mengklaim komponen utama sejatinya merupakan biaya produksi dan bahan baku. Itu mencapai 55 persen dari total harga tes.
Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir menjelaskan struktur harga PCR ini merupakan yang berlaku di laboratorium perusahaan. Pasalnya, struktur harga bisa berbeda di laboratorium lain, termasuk di anak-anak usaha seperti PT Kimia Farma Tbk dan PT Indofarma Tbk.
"Ini utamanya dari reagent. Dari sisi bahan baku dan biaya produksi mencapai 55 persen. Tapi ini bergantung pada lab masing-masing dan bisnis model. Mungkin ada beda dari lab Kimia Farma dan lainnya karena mereka punya lab yang lebih besar," ungkap Honesti saat rapat dengan pendapat bersama Komisi VI DPR di Gedung DPR/MPR, Selasa (9/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain bahan baku dan biaya produksi, struktur harga PCR juga terdiri dari biaya operasional sebesar 16 persen dari total harga. Sisanya, berupa biaya distribusi termasuk keuntungan distributor sekitar 14 persen, royalti 5 persen, dan keuntungan untuk Bio Farma 10 persen.
Harga bahan baku dan biaya produksi ini salah satunya berasal dari harga PCR kit sebesar Rp90 ribu per tes pada Oktober 2021. Honesti mengklaim harga PCR kit ini sudah turun sebanyak tiga kali dari Rp325 ribu pada Agustus 2020 menjadi Rp250 ribu per tes pada September 2020.
Lalu, turun lagi menjadi Rp113.636 per tes pada Agustus 2021 hingga akhirnya menyentuh Rp90 ribu per tes pada Oktober lalu. Besaran biaya PCR kita belum termasuk pajak pertambahan nilai (PPN).
Dari berbagai komponen penyusun struktur harga PCR, terdapat pula harga publish termasuk PPN sebesar Rp90 ribu dan harga e-katalog termasuk PPN Rp81 ribu. Honesti mengklaim dengan struktur harga ini, maka tes PCR di Indonesia berhasil menjadi yang terendah di kawasan Asia Tenggara.
"Alhamdulillah pemerintah mengambilalih dan harga PCR jadi murah, bahkan yang termurah dari tetangga kita, seperti Thailand, Singapura, Malaysia. Bahkan dari Uni Emirat Arab, itu harganya lebih mahal dari di sini," katanya.
[Gambas:Video CNN]
Honesti yakin harga tes PCR bisa turun lagi ke depan karena jumlah produksi dan model bisnis terus berkembang, sehingga bisa menghasilkan harga yang lebih rendah. Selain itu, ada intervensi dari pemerintah, sehingga harga yang berkembang tidak cuma bergantung pada mekanisme pasar.
"Intinya kami mendukung pemerintah untuk penetapan harga PCR dan kami terus dukung agar masyarakat bisa dapat pengetesan yang berkualitas," imbuhnya.
Kendati begitu, Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Gerindra Andre Rosiade meminta Bio Farma bisa menurunkan harga PCR dari batas berlaku saat ini sebesar Rp275 ribu menjadi di bawah Rp200 ribu per tes.
Bahkan, ia ingin permintaannya ini didengar Presiden Joko Widodo (Jokowi), Menteri BUMN Erick Thohir, dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
"Harapan saya ini didengar Menteri BUMN, Menteri Kesehatan, Pak Presiden, Indonesia bisa PCR-nya di bawah Rp200 ribu, India saja bisa, meski kita apresiasi juga bahwa harga PCR kita (sekarang) termurah di ASEAN, tapi kita bisa di bawah Rp200 ribu," ujar Andre pada kesempatan yang sama.
Andre menjelaskan harga PCR bisa di bawah Rp200 ribu karena hasil penelusurannya menemukan struktur harga PCR yang lebih rendah. Struktur itu terdiri dari harga PCR kit sebesar Rp25 ribu, VTM Rp10 ribu, dan reagent Rp65 ribu.
Kemudian juga terdiri dari biaya mesin PCR, biaya layanan dari tenaga kesehatan (nakes), biaya alat perlindung diri (APD), hingga keuntungan mencapai Rp50 ribu sampai Rp70 ribu.
"Jadi kalau ditotal masih di bawah Rp200 ribu, maksimal bisa Rp200 ribu lah. India saja bisa Rp110 ribu, kenapa Indonesia bisa sampai Rp2,5 juta, Rp900 ribu, jadi kita hanya segini, publik harus tahu, ditambah APD, biaya nakes, operasional, dan untung itu bisa maksimal Rp170 ribu," jelasnya.
Di sisi lain, menurutnya, harga PCR yang lebih rendah sangat mungkin terjadi karena kedok biaya tes berdasarkan durasi perolehan hasil tes sejatinya tidak perlu diterapkan. Contohnya, perbedaan harga tes berdasarkan durasi satu jam, dua jam, enam jam, 1x24 jam, hingga 2x24 jam.
"Seharusnya lab tidak perlu pakai angka satu jam, dua jam, kan mereka putar mesin yang sama untuk semua pasien. Jadi kita diduga ditipu-tipu saja dengan bisnis ini," ucapnya.
Tak ketinggalan, Andre juga meminta pemerintah menurunkan harga tes covid-19 skema antigen. Saat ini, rata-rata harga tes antigen masih di atas Rp50 ribu.
Ia mencatat hanya PT KAI (Persero) yang bisa memberikan harga tes antigen rendah, yakni Rp35 ribu per tes. Tapi, ia ingin harga yang lebih rendah bisa diberikan semua distributor.
Realisasi Penjualan
Di sisi lain, Honesti mencatat realisasi penjualan alat tes PCR perusahaan sudah mencapai 6,46 juta tes kit sejak Agustus 2020 sampai Oktober 2021. Realisasi ini mencapai 40,5 persen dari total tes PCR nasional mencapai 16 juta tes kit.
Sementara untuk jumlah tes PCR yang sudah terdistribusi mencapai 7,66 juta kit. Terdiri dari distribusi tes PCR mBioCov 6,26 juta, BioCov 221,17 ribu, BioSaliva 38,76 ribu, RNA kit 314,1 ribu, dan BioVTM 824,96 ribu kit.
Sedangkan untuk kapasitas produksi, Honesti mencatat realisasi kapasitas produksi BioVTM mencapai 300 ribu tube per bulan sampai saat ini. Untuk kapasitas produksi mBioCov sekitar 2,4 juta tes per bulan dan BioSaliva 40 ribu kit per bulan.
Tapi, Honesti ingin masing-masing kapasitas produksi tes PCR meningkat sekitar dua kali lipat. Targetnya, produksi BioVTM bisa naik menjadi 600 ribu tube per bulan, mBioCov menjadi 5 juta tes per bulan, dan BioSaliva menjadi 100 ribu kit per bulan.