Tak hanya menghapus PPN pada PCR, Bhima menilai harga juga bisa ditekan dengan memberikan subsidi pada komponen biaya produksi dan royalti. Caranya sama, ambil alokasi dananya dari APBN.
"Plus keuntungan ditanggung pemerintah sepenuhnya. Bahkan untuk full subsidi PCR, pemerintah masih memiliki ruang anggaran," jelasnya.
Sementara Ekonom Indef Nailul Huda mengatakan pungutan PPN seharusnya memang tidak diambil pemerintah pada penjualan PCR. Toh, alat tes ini termasuk jasa dan alat kesehatan yang seharusnya memang serba dibebaskan pajaknya dalam rangka penanganan covid-19.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain pajak, menurutnya, para produsen PCR memang perlu lebih berdaya saing dengan transparan melakukan persaingan harga dalam bisnis ini. Apalagi, berbagai komponen penyusun harga PCR sejatinya memang telah turun di pasar karena pasokan meningkat, misalnya dari segi bahan baku.
Begitu pula dengan alat tes PCR-nya sendiri. Saat ini, produksinya sudah masif dari banyak sumber. "Sebenarnya alat utamanya juga di bawah Rp100 ribu harganya," ujarnya.
Di sisi lain, ia meminta agar pemerintah 'turun tangan' lebih jauh pada bisnis PCR yang diduga kental dengan permainan. Pasalnya, situasinya tengah genting dan pasarnya ada.
Bahkan, dugaan keterliibatan pejabat negara dalam bisnis ini juga harus segera diluruskan. Jika terbukti, maka sebaiknya lekas dicopot.
"Saya curiga memang komplotan bisnis ini jahatnya minta ampun. Jadi harga PCR memang di-set tinggi untuk melindungi pelaku bisnis. Yang punya kepentingan di bisnis PCR harus dicopot lebih dahulu. Baru kebijakannya bisa berjalan dengan optimal," pungkasnya.