Tadjuddin menilai kenaikan UMP 2022 ini sebenarnya bisa saja digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Alasannya, karena memang perlu dijelaskan bagaimana cara menghitung formula kenaikan upah hingga cuma dapat besaran 1,09 persen. "Tentu bisa digugat, dipertanyakan ke MK," terang dia.
Menurutnya, masalah apakah sudah ada kerugian materiil seperti yang kerap dipertanyakan MK, hal ini bisa dicoba dulu. Bahkan, biarkan MK yang mempertimbangkan.
"Meski belum berjalan (kebijakan upahnya), tapi bisa dilakukan kajian terhadap formula di UU, di PP dengan realitasnya. Jadi, nanti biar MK yang mempertimbangkan, dan cari titik temunya," kata Tadjuddin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara, Tauhid menyoroti dampak penetapan upah buruh ke perekonomian. Ia menilai kenaikan besaran upah yang terlalu rendah tidak baik untuk perekonomian karena berpotensi membuat permintaan semakin melemah dan dampaknya bisa ke pertumbuhan sektor usaha juga.
Sedangkan dampak lebih luas, akan mempengaruhi tingkat pemulihan daya beli dan pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang selama ini sudah tertekan pandemi covid-19. Hasil akhirnya tentu akan berpengaruh ke pertumbuhan ekonomi.
"Kenaikan upah yang terlalu rendah tidak bagus untuk perekonomian, meski kenaikan yang terlalu tinggi pun juga tidak baik, harus seimbang dan ada titik tengahnya," tutur Tauhid.
Di luar masalah besaran upah, sebetulnya perusahaan harus memikirkan tunjangan kesejahteraan buruh yang lainnya. Tujuannya, agar upah tidak menjadi tumpuan satu-satunya bagi buruh untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan mereka.
"Yang tak kalah penting adalah perusahaan seharusnya bisa memberikan jaminan kesehatan, ketenagakerjaan, sosial untuk tenaga kerja, anak mereka, bahkan hingga mereka pensiun," pungkasnya.