China 'Pompa' Stimulus Rp2.694,6 T Demi Pulihkan Ekonomi
Bank Rakyat China memutuskan untuk membuka dompet dan mengalirkan stimulus demi memompa ekonomi mereka yang kini tengah mengalami tekanan.
Dalam pernyataan yang dikeluarkan pada Senin (6/12) lalu, mereka menyatakan gelontoran stimulus itu akan dilakukan dengan memangkas rasio cadangan wajib bank hingga 0,5 persen mulai 15 Desember nanti, menggelontorkan likuiditas senilai 1,2 triliun yuan atau US$188 miliar.
Kebijakan pemangkasan rasio cadangan bank itu merupakan yang kedua kalinya dilakukan Bank Rakyat China pada tahun ini. Kebijakan diambil pada hari yang sama ketika Politbiro China mengisyaratkan akan mengambil langkah lebih agresif guna melindungi ekonomi Negeri Tirai Bambu pada 2022 mendatang.
Lihat Juga : |
Tim kepemimpinan Partai Komunis China, yang diketuai oleh Presiden Xi Jinping dalam sebuah pernyataan menyebut 'stabilitas' memang akan menjadi prioritas utama China hingga beberapa tahun mendatang.
Pernyataan dengan frasa 'stabilitas adalah prioritas utama' itu sebelumnya pernah dipakai Politbiro dalam pertemuan yang didedikasikan untuk membahas kebijakan China pada tahun depan. Ekonom menyebut itu menunjukkan pemimpin tertinggi China mulai khawatir dengan risiko ekonomi tahun depan.
"Dengan kata lain, para pemimpin tertinggi China sangat prihatin dengan risiko dan potensi ketidakstabilan," kata Kepala Ekonomi Macquarie Group untuk China Larry Hu seperti dikutip dari CNN Bussiness, Rabu (8/12).
Sebagai informasi, Beijing sangat berhati-hati dalam melakukan intervensi atas pemulihan ekonomi China selama pandemi virus corona. Itu tercermin dari kebijakan bank sentral mereka yang belum memotong suku bunga pinjaman acuan meskipun ekonomi mengalami tekanan corona sejak awal 2020.
Mereka juga menahan diri untuk tidak membanjiri ekonomi dengan stimulus. Keputusan mereka ambil karena ekonomi China berhasil mengungguli negara lain selama pandemi.
Mereka merupakan satu-satunya negara yang ekonominya tetap bisa tumbuh pada tahun lalu meski tertekan corona. Walau berhasil tumbuh lebih kuat dibanding negara lain, ekonomi China bukan tanpa tekanan.
Mereka pada tahun ini mendapatkan banyak tekanan hebat. Tekanan terutama datang dari krisis energi dan keuangan yang dialami oleh sejumlah perusahaan properti, salah satunya Evergrande.
Salah satu pengembang terbesar dengan jumlah utang paling banyak di negara itu, kini tengah berada di tengah ancaman gagal bayar.
Analis khawatir runtuhnya Evergrande dapat memiliki efek ganda ke seluruh sektor properti di China. Pasalnya, kontribusi sektor itu ke PDB mencapai 30 persen.