Permasalahan lainya berkaitan dengan biaya proyek. Perhitungan KAI selaku salah satu anggota konsorsium, proyek tersebut membutuhkan dana US$8 miliar atau sekitar Rp114,24 triliun (kurs Rp14.280 per dolar AS).
Dana itu lebih besar jika dibandingkan dengan proposal dari China saat menawarkan proyek itu ke Indonesia. Kala itu, China hanya menghitung investasi proyek hanya US$6,07 miliar atau sekitar Rp86,67 triliun.
Kebutuhan dana proyek juga meningkat karena Indonesia belum menyetor modal awal senilai Rp4,3 triliun sampai 1 September lalu. Padahal, setoran itu seharusnya dilakukan sejak Desember 2020.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jumlah itu belum termasuk estimasi tanggung jawab sponsor dalam membiayai pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar Rp4,1 triliun.
Untuk itu, KAI mengajukan penundaan setoran menjadi Mei 2021. Namun, hingga saat ini belum ada kejelasan dari konsorsium kontraktor High Speed Railway Contractors Consortium (HSRCC), baik terkait penundaan setoran maupun permintaan restrukturisasi kredit proyek.
Direktur Utama PT KAI (Persero) Didiek Hartantyo komunikasi antara Indonesia dan China kurang lancar. Pasalnya pemimpin awal proye, PT Wijaya Karya, sejatinya merupakan perusahaan konstruksi, bukan perusahaan di bidang kereta api.
"Selama ini komunikasi antara Indonesia dan China tidak smooth, sekarang bisa bayangkan lead proyek ini adalah Wijaya Karya, itu perusahaan konstruksi sekarang yang dibangun kereta api," tuturnya, Rabu (1/9) lalu.
Untuk mengatasi hal tersebut, Jokowi kemudian mengubah kebijakannya. Mantan gubernur DKI Jakarta itu merombak konsorsium dengan menunjuk KAI dan membentuk komite percepatan proyek.
Pemerintah juga menyuntikkan Penyertaan Modal Negara (PMN) senilai Rp4,3 triliun untuk mendanai proyek tersebut.