Inflasi di China naik ke level tertingginya dalam setahun terakhir dikarenakan kenaikan harga daging babi dan sayur mayur.
Biro Statistik China melansir indeks harga konsumen (CPI), indikator utama yang menyumbang inflasi ritel, tercatat 2,3 persen. Angka ini masih di bawah ekspektasi, tetapi tertinggi sejak Agustus 2020.
Ahli Statistik Senior NBS Dong Liyuan menuturkan kenaikan harga pangan, terutama daging babi yang merupakan daging pokok di negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia itu menjadi pukulan bagi konsumen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kenaikan harga dikarenakan peningkatan permintaan konsumsi daging babi dan pasokan yang langka," ujarnya seperti dilansir AFP, Kamis (9/12).
Secara bulanan, harga daging babi tercatat naik 12,2 persen. Dalam laporan Capital Economics, masyarakat mulai menimbun daging babi untuk musim dingin yang menandakan bahwa pasokan daging babi sedang tidak menumpuk.
Ekonom Senior Capital Economics Julian Evans-Pritchard menerangkan indeks harga konsumen China telah meningkat beberapa tahun terakhir karena daging babi, terutama setelah flu babi di Afrika.
Gangguan panen sayur mayur karena cuaca yang buruk, sambung Pritchard, juga ikut berkontribusi terhadap inflasi konsumen dari sektor pangan.
Beruntung, inflasi pabrik di China mereda dari level tertingginya 26 tahun silam pada November ini. Data terbaru menunjukkan indeks harga produsen (IPP) turun menjadi 12,9 persen.
Indeks harga produsen turun setelah pemerintah setempat mengeluarkan kebijakan membatasi kenaikan harga batu bara dan logam, sehingga pasokan dan harga menjadi lebih stabil.
"Prospek jangka pendeknya, penurunan tajam harga minyak dunia dan harga logam industri utama," kata Rajiv Biswas dari IHS Markit.