ANALISIS

Kenaikan Cukai Tembakau Tak Serta Merta Bikin Orang Setop Isap Rokok

Yuli Yanna Fauzie | CNN Indonesia
Selasa, 14 Des 2021 07:07 WIB
Ekonom menilai kenaikan tarif cukai tembakau memberi dampak positif dan negatif bagi industri rokok. Padahal, konsumsi rokok orang belum tentu menurun.
Ekonom menilai kenaikan tarif cukai tembakau memberi dampak positif dan negatif bagi industri rokok. Padahal, konsumsi rokok orang belum tentu menurun. (CNN Indonesia/Andry Novelino).
Jakarta, CNN Indonesia --

Tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok akan naik rata-rata 12 persen mulai 1 Januari 2022 mendatang. Sementara, cukai rokok elektrik alias vape juga naik dengan harga jual eceran minimum naik 17,5 persen.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan ada banyak alasan mengapa tarik cukai rokok naik pada tahun depan. Salah satunya permintaan langsung dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Bapak Presiden memberikan arahan antara 10 persen sampai 12,5 persen. Kita menetapkan di 12 persen," ungkap Ani, sapaan akrabnya saat konferensi pers virtual, Senin (13/12).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain itu, ada pertimbangan masalah kesehatan dan biaya penanganannya yang cukup tinggi, risiko stunting, penurunan prevalensi merokok anak, keberlangsungan industri dan tenaga kerja, hingga dampak cukai ke kantong penerimaan negara.

Kendati begitu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menilai kenaikan tarif cukai rokok 12 persen sejatinya memberi dampak yang menguntungkan dan merugikan bagi perekonomian. Apalagi, tarif kenaikannya relatif tinggi.

"Bahkan, untuk segmen sigaret kretek tangan (SKT) akhirnya juga dinaikkan tarifnya. Biasanya, tidak ada. Biasanya, pemerintah ingin memberi dukungan kepada petani dan buruh tembakau," tutur Tauhid kepada CNNIndonesia.com.

Pertama, dari segi industri rokok. Menurut Tauhid, kenaikan tarif cukai rokok sampai 12 persen berpotensi membuat industri mengurangi produksi rokok mereka. Hal ini, sambungnya, bukan tidak mungkin membuat target penurunan produksi rokok pemerintah tercapai, yaitu dari 320,1 miliar batang menjadi 310,4 juta miliar batang per tahun.

"Tidak cuma ke penurunan produksi, tapi juga rasionalisasi penjualan, termasuk penyesuaian harga jual rokok, karena ada kenaikan cukai yang signifikan," ucapnya.

Kondisi ini tidak serta merta membuat pendapatan industri rokok akan meningkat karena harga jual rokok naik. Sebab, kalau produksi ternyata turun dan tidak mengompensasi operasional secara keseluruhan, maka pendapatan juga bisa turun.

Kedua, dampak ke tenaga kerja. Menurut Tauhid, keputusan pemerintah mengenakan cukai terhadap segmen SKT akan berpotensi menggerus tenaga kerja di industri ini. Padahal, mereka merupakan industri padat karya dan konvensional. "Jadi saya rasa konsekuensinya akan terjadi penurunan jumlah tenaga kerja," imbuh dia.

Potensi dampak ini perlu pemerintah antisipasi, misalnya dengan membangun industri pengalihan bagi tenaga kerja yang tersingkirkan. Tentu pengalihan kerja perlu dibarengi dengan pengalihan keterampilan lebih. Dengan begitu, tenaga kerjanya tetap bisa memenuhi kebutuhan industri ke depan.

Ketiga, bagi konsumsi masyarakat. Cukai yang tinggi akan membuat harga jual eceran rokok ikut terkerek dan berpengaruh pada tingkat konsumsi dan daya beli masyarakat.

Pada segmen sigaret kretek mesin (SKM) I misalnya, harga rokok berpotensi naik dari Rp34 ribu menjadi Rp38.100 per bungkus. Lalu, pada Sigaret Putih Mesin (SPM) I, harga jual akan naik dari kisaran Rp35 ribu menjadi Rp40.100 per bungkus.

Begitu juga dengan SKT III yang termurah, harganya bakal naik dari Rp9.000 menjadi Rp10.100 per bungkus. Bagi konsumen, tentu kenaikan cukai akan membuat 'kantong semakin boncos' untuk membeli rokok.

Tetapi, menurutnya, hal ini tidak serta merta akan membuat konsumsi rokok berkurang. Toh, hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat rokok masih menjadi komoditas kedua yang menyumbang inflasi nasional setelah beras.

"Masalahnya, semakin tinggi harga rokok, bukan berarti konsumsi rokok dari orang miskin berubah, tetap tinggi. Bahkan di masa pandemi, mereka tetap membeli rokok," katanya.

Ketika ini terjadi, maka kenaikan harga rokok akan membuat inflasi semakin tinggi karena rokok punya kontribusi besar. Dampak kenaikan inflasi tentu bisa meluas ke berbagai hal, mulai dari industri lain hingga sektor keuangan karena merupakan indikator penting dalam penilaian ekonomi secara makro.

Selain itu, ketika rokok tetap dikonsumsi masyarakat miskin dan menjadi pengeluaran utama, maka garis kemiskinan akan naik. "Kalau batas kemiskinan naik, jadi nanti tingkat kemiskinannya akan tetap tinggi juga, jumlah orang miskin bisa jadi tidak berkurang," terangnya.

Ia mengatakan tentu pemerintah perlu mengantisipasi dampak kenaikan cukai rokok terhadap inflasi dan tingkat kemiskinan ini. Sebab, bakal mempengaruhi capaian target pembangunan ekonomi tanah air.

Keempat, kenaikan cukai berpengaruh ke penerimaan negara. Menurutnya, secara nominal mungkin ada potensi penerimaan negara yang lebih besar, tetapi pertumbuhannya relatif turun ketika kenaikan tarif mencapai dua angka.

"Tapi penerimaan belum tentu maksimal juga karena ada potensi rokok ilegal yang tetap ada. Semakin tinggi kenaikan tarif cukai, semakin tinggi kerawanan rokok ilegal. Nah, ini juga yang perlu diantisipasi karena peredarannya tidak mendatangkan penerimaan cukai ke negara," jelasnya.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menambahkan khusus pada dampak kenaikan cukai pada harga rokok. Menurutnya, kenaikan tarif pada tahun depan tidak terlalu signifikan terhadap harga jual rokok.

"Sehingga masyarakat masih bisa membelanjakan pendapatannya untuk rokok. Jadi, dampak konsumsinya mungkin tidak besar," ungkap Yusuf.

[Gambas:Video CNN]

Potensi ini, lanjut dia, seharusnya diikuti dengan kebijakan lain yang bisa menurunkan tingkat prevalensi merokok masyarakat. Dengan begitu, penurunan konsumsi dan jumlah perokok tidak cuma mengandalkan kebijakan cukai saja.

"Artinya, tidak bisa hanya andalkan kenaikan tarif cukainya, tapi perlu kebijakan lain. Misal, penyederhanaan layer (lapisan) yang sekarang sebenarnya sudah ada, tapi masih cukup rumit secara awam," terang dia.

Begitu juga dengan dampak kenaikan tarif cukai rokok ke inflasi. Menurutnya, dampak ini perlu dikalkulasi lebih lanjut karena kenaikan inflasi berpengaruh pada pemulihan ekonomi nasional setelah tertekan dampak pandemi covid-19.

Apalagi, banyak negara kini tengah menghadapi kenaikan inflasi. "Jadi dampaknya apa sudah tepat atau tidak, ini masih harus digali lagi," tandasnya.

(bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER