ANALISIS

Wacana Hapus Premium, Isu Kesehatan dan Ancaman Daya Beli Masyarakat

Dinda Audriene | CNN Indonesia
Rabu, 29 Des 2021 07:37 WIB
Pengamat energi menyebut penghapusan premium memang penting demi menjaga kesehatan masyarakat dari polusi udara. Tapi itu harus dilakukan hati-hati.
Pengamat energi juga mempekrirakan penghapusan premium tak serta merta mendorong masyarakat beralih ke pertamax. Ilustrasi. (CNN Indonesia/Hesti Rika).

Di sisi lain, Pengamat Energi dari Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan penghapusan pertalite tak serta merta buat orang beralih ke pertamax. Ia memproyeksi sebagian masyarakat pindah ke perusahaan sebelah, seperti Shell hingga British Petroleum (BP).

Komaidi menjelaskan harga pertamax sebenarnya masih lebih murah dibandingkan BBM setara pertamax di SPBU Shell dan BP. Namun, bedanya tipis.

"Kalau selisih Rp50-Rp100 per liter, masyarakat ke non Pertamina. Ini karena masih ada pandangan bahwa produk non Pertamina masih lebih baik," ujar Komaidi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk itu, harus ada solusi dari risiko-risiko yang timbul akibat penghapusan premium dan pertalite di SPBU Pertamina.

Menurut Komaidi, jika alasannya karena aspek kesehatan dan lingkungan, maka premium dan pertalite memang harus dihapus. Namun, sektor energi bukan hanya tentang kesehatan dan lingkungan, tapi juga aspek bisnis dan ekonomi.

"Tidak hanya lingkungan, tapi juga ada daya beli masyarakat, subsidi, kemampuan fiskal di APBN, dan bisnis Pertamina itu sendiri," terang Komaidi.

Jadi, semua kembali pada hasil diskusi Pertamina dengan Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan. Ketika premium dan pertalite dihapus, pemerintah juga harus melihat apakah infrastruktur Pertamina mampu memproduksi pertamax lebih banyak dari sebelumnya.

"Mengubah kilang dari pertalite ke pertamax misalnya, setting nya tidak sebentar," imbuh Komaidi.

Lebih jauh, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan penghapusan premium dan pertalite akan mendorong inflasi di dalam negeri. Pasalnya, pertalite merupakan BBM dengan pangsa pasar terbesar di Indonesia.

"Ketika masyarakat dipaksa pindah ke pertamax semua ya bisa melonjak tinggi inflasinya," ucap Nailul.

Kenaikan inflasi, sambung Nailul, akan menekan daya beli masyarakat. Apalagi Pertamina baru saja menaikkan harga LPG non subsidi sebesar Rp1.600-Rp2.600 per kg.

"Setelah kemarin LPG, sekarang pertalite mau dihapus dan dipaksa pindah ke pertamax, yang jelas masyarakat kelas menengah bawah tidak akan mengonsumsi sebanyak saat ini apabila pakai pertamax," jelas Nailul.

Oleh karena itu, ia mengatakan 2022 bukan waktu yang tepat menghapus pertalite. Kalau premium tak masalah karena pangsa pasarnya terbilang rendah.

"Premium kalau mau dihapus boleh lah, tapi kalau pertalite jangan dulu," tegas Nailul.

Sementara, Pengamat Energi Mamit Setiawan berpendapat pemerintah harus siap-siap memberikan subsidi pembelian pertamax jika premium dan pertalite benar-benar dihapus tahun depan.

Menurutnya, Indonesia bisa berkaca pada Malaysia yang memberikan subsidi terhadap pembelian bahan bakar yang memiliki RON hingga 95 dan 98.

"Jadi ini bukan hal yang tidak mungkin kalau memang serius mengurangi emisi gas rumah kaca," ungkap Mamit.

Namun, ia menyarankan agar subsidi diberikan kepada perorangan atau sekelompok masyarakat. Dengan kata lain, subsidi tak diberikan langsung ke perusahaan.

"Kalau subsidi lebih tepat langsung ke orang, bukan perusahaan," ucap Mamit.

Mamit mencontohkan subsidi salah satunya bisa diberikan kepada supir angkot. Pemerintah bisa memberikan supir angkot kartu akses untuk mendapatkan subsidi ketika membeli pertamax.

"Jadi masalah data diperbaiki dulu, kadang beda-beda data di kementerian," tutup Mamit.

(agt)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER