Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai pemerintah perlu meninjau ulang pembebasan PPnBM secara permanen.
Ia kurang setuju kalau pembebasan bakal berlaku permanen. Menurut dia mestinya kebijakan diberlakukan sementara saja selama industri otomotif masih lesu, lalu kembali diberlakukan ketika ekonomi telah kembali ke posisi normal di kisaran pertumbuhan 5 persen.
Tauhid menyebut salah satu kerugian yang bakal didulang pemerintah jika diterapkan secara permanen adalah berkurangnya penerimaan pajak secara signifikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Walau tak punya proyeksi potensi kehilangan penerimaan pajak akibat kebijakan, namun ia menyebut nilainya bakal lumayan besar. Bila melihat realisasi relaksasi PPnBM April-pertengahan Desember 2021 saja nilainya mencapai Rp2,91 triliun.
Kerugian lainnya yang bisa didapat dari kebijakan ini, lanjut Tauhid, ialah terciptanya kecemburuan sosial dari produsen mobil di atas harga Rp240 juta. Tak hanya produsen mobil saja yang bakal merasa tak mendapat perlakuan sama, ia menyebut masyarakat luas juga bisa merasa dianaktirikan.
Pasalnya, pada tahun depan berbagai kebijakan pemerintah sebetulnya memberatkan kocek masyarakat kelas bawah. Tengok saja kenaikan PPN menjadi 11 persen yang naik tahun depan, lalu wacana kenaikan tarif listrik hingga penghapusan BBM jenis premium.
Di saat pemerintah berusaha menambal penerimaan negara lewat penarikan pajak lebih agresif, masyarakat menengah malah dimanjakan dengan fasilitas tambahan.
"Sementara roda empat diberi keringanan, nah kayak gitu harus mempertimbangkan masyarakat lain yang hanya punya roda dua sementara harus menanggung kenaikan BBM, listrik, PPN," ujar dia.
Sedangkan keuntungannya ialah dapat mendongkrak pemulihan ekonomi lebih cepat karena konsumsi kelas menengah bisa digenjot. Dampak konsumsinya juga bisa luas, misalnya hingga ke sektor industri bahan baku dan penolong komponen kendaraan mobil empat.
Konsumsi BBM juga bakal naik seiring dengan bertambahnya jumlah kendaraan.
Tauhid mengatakan insentif di tahun depan turut ditopang oleh kelonggaran kebijakan kredit perbankan sehingga pembelian mobil bisa lebih leluasa.
"Implikasinya ke industri alat angkut akan terjadi, peningkatan produksi, kemudian dampak ekonomi ke industri komponen, pendukung, seiring dengan pertumbuhan penjualan kendaraan," jelas Tauhid.
Sedangkan, ia menyebut dampaknya ke target penurunan emisi karbon harus dilihat dari skema kebijakan untuk mengetahui berapa besar kontribusinya dalam mencapai target.