Jakarta, CNN Indonesia --
Akhir-akhir ini istilah non-fungible token (NFT) menjadi buah bibir masyarakat. Terlebih saat Sultan Gustaf AL Ghozali alias Ghozali Everyday viral setelah 'kaya mendadak' dari penjualan swafoto (selfie) lewat aset digital tersebut.
Pria berumur 22 tahun itu menjual selfie di platform marketplace OpenSea. Total cuan yang ia kantongi mencapai Rp1,5 miliar sejauh ini.
OpenSea adalah sebuah platform yang menyediakan ruang bagi penjual, pembeli, dan kreator aset digital untuk bertransaksi dengan mata uang kripto ethereum (ETH).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
NFT sendiri merupakan aset digital yang berbentuk karya seni maupun barang koleksi yang bisa dipergunakan untuk membeli sesuatu secara virtual. Semua aset digital tersebut akan terverifikasi melalui blockchain.
Pasar NFT hanya mengakui kripto sebagai alat pembayarannya. Dengan kata lain, masyarakat yang ingin membeli produk berbentuk NFT harus memiliki akun di marketplace dan platform aset kripto.
Lantas, apa sebenarnya perbedaan NFT dan kripto?
Ketua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) yang juga COO Tokocrypto Teguh Kurniawan Harmanda menjelaskan NFT dan kripto memiliki perbedaan.
Aset kripto dapat diperdagangkan atau ditukar satu sama lain. Mata uang digital itu juga memiliki nilai yang sama. Contoh, nilai 1 Bitcoin selalu sama dengan Bitcoin lainnya.
"Fungibilitas aset kripto juga dijadikan sarana terpercaya untuk melakukan transaksi di blockchain," ungkap Teguh kepada CNNIndonesia.com, Selasa (18/1).
Sementara NFT berbeda. Menurut Teguh, NFT seperti sertifikat digital yang masing-masing memiliki tanda tangan atau kode unik yang membuat aset digital tersebut hanya bisa diperjualbelikan, tidak bisa dipertukarkan dengan satu sama lain.
Pasalnya, tidak ada dua NFT yang identik bahkan yang ada di platform, game, atau koleksi yang sama.
"Anggap saja NFT sebagai tiket nonton. Setiap tiket berisi informasi spesifik termasuk nama pembeli, tanggal acara, dan tempat. Data ini membuat tiket festival tidak mungkin untuk dipertukarkan satu sama lain," ujarnya.
Untuk membeli NFT terdapat marketplace tersendiri seperti OpenSea atau yang lokal ada TokoMall. Marketplace NFT tersebut sifatnya terdesentralisasi karena menggunakan sistem blockchain. Masyarakat dapat langsung membeli NFT dengan aset kripto yang sudah mereka miliki di wallet.
Teguh mengatakan konsep penjualan NFT mirip dengan karya lainnya namun di sini menggunakan teknologi blockchain. Pembuat karya melakukan minting atau pencetakan karya menjadi NFT di marketplace pilihannya lalu menentukan nominal tertentu sebagai penawaran ke publik.
Pembuat karya akan mendapat hasil penjualan jika NFT tersebut terjual ke pembeli pertama, dan tetap mendapat pembagian royalti jika NFT tersebut terjual kembali ke pembeli kedua, ketiga dan seterusnya.
Bersambung ke halaman berikutnya...
"Pembagian royalti akan beragam disesuaikan dengan kebijakan setiap platform marketplace yang digunakan," sambung Teguh.
Sementara itu, untuk membeli kripto dapat melalui platform exchange. Setelah masyarakat memutuskan ingin membeli token kripto, seperti Bitcoin, Ethereum, atau lainnya, mereka harus membuat akun di exchange tersebut untuk menukar rupiah atau mata uang lainnya dengan aset kripto.
Exchange memiliki peran sebagai perantara atau 'makcomblang' antara penjual dan pembeli aset kripto. Oleh karena itu, ia memungut sejumlah fee, seperti fee jual beli aset dan penarikan uang.
Teguh menuturkan NFT berhasil menghadirkan dobrakan baru terhadap dunia perekonomian digital. Kegiatan jual beli aset NFT dianggap memberi solusi terhadap masalah seniman yang karyanya rentan diplagiasi atau duplikasi.
Seni digital dalam bentuk NFT bisa menjadi alternatif bagi berbagai kalangan untuk berinvestasi di suatu karya seni.
Berinvestasi di karya seni digital tidak membutuhkan biaya yang besar. Pasalnya, investor tidak perlu memikirkan akomodasi lainnya seperti transportasi maupun ruang pajang setelah membeli karya seni.
Meski demikian, bukan berarti NFT tidak memiliki kelemahan. Penetapan nilai suatu barang di NFT dianggap tidak memiliki sistem yang jelas. Sejauh ini, popularitas pemilik orisinil aset NFT masih dianggap penting dalam menentukan nilai suatu aset NFT.
Selain itu, NFT dianggap aset yang tidak likuid. Sebab, siapa pun yang membeli NFT belum tentu akan bisa menjualnya kembali.
"Sama seperti investasi lainnya, dalam dunia NFT juga memiliki risiko yang sewaktu-waktu dapat terjadi," kata Teguh.
Berbeda dengan NFT, kripto justru memiliki tingkat likuiditas yang tinggi karena bisa diperjualbelikan kapan saja. Namun, ia juga memiliki risiko besar dengan konsep high risk, high return.
Senada, Pendiri sekaligus Chief Executive Officer (CEO) Bitocto Milken Jonathan mengatakan perbedaan sederhana dari NFT dan kripto adalah adanya tanda tangan digital yang unik dan berbeda pada NFT. Sementara, aset kripto nilainya sama.
Ia menyebut saat ini mata uang kripto yang populer digunakan untuk jual beli NFT adalah ETH. Oleh karena itu, , pembeli NFT harus terlebih dahulu membeli ETH di Exchange yang terdaftar di Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).
"Setelah ETH di beli, ETH dikirim ke dompet metamask atau semacamnya untuk ditransaksikan membeli NFT," ujarnya.
Menurut Milken, modal untuk membeli tergantung harga-harga NFT yang dipasarkan. Lebih populer tentu akan lebih mahal.
Terkait untung rugi, ia mengatakan kripto memiliki mekanisme sama dengan perdagangan jual beli saham dan emas.
NFT juga mirip, di mana pembeli berharap harganya apresiasi di masa depan sehingga dapat dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi.
"Atau bisa juga sebaliknya, popularitas turun dan harga juga ikut menurun bahkan sampai tidak ada pembelinya," tandasnya.
[Gambas:Video CNN]