Pertamina bergerak cepat merealisasikan langkah-langkah strategis terkait program keberlanjutan energi dan dekarbonisasi dalam rangka persiapan Presidensi G20 2022 dan sebagai bagian The Business 20 (B20), Taks Force Energy. Langkah strategis itu diwujudkan dengan menyepakati empat Memorandum of Understanding (MoU) atau Nota Kesepahaman.
Nota Kesepahaman tersebut ditandatangani pada Selasa (18/1) kemarin, bertepatan dengan agenda Stakeholders Consultation oleh B20 Task Force Energy, Sustainability and Climate. Kesepakatan dilakukan Pertamina dengan para mitra terkemuka skala nasional dan internasional untuk melakukan kajian dan penjajakan kerja sama.
"Kerja sama ini untuk pengembangan upaya-upaya menuju net-zero emissions dari aspek teknologi, energi ramah lingkungan, offset emisi, dan potensi kolaborasi lainnya," ujar Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati dalam keterangan tertulisnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada MoU pertama, Pertamina dan Jababeka sepakat kerja sama dalam identifikasi dan evaluasi pengembangan Green Industrial Estate. Termasuk di dalamnya akan mencakup pasokan gas, penyediaan pasokan listrik dari Energi Baru & Terbarukan, riset dan inovasi.
Selanjutnya, Pertamina dengan Inpex Corporation (Inpex) juga berencana menjajaki peluang pengembangan bersama pasokan Clean-LNG dan Clean-Gas dari terminal LNG Bontang. Kerja sama ini dimaksudkan untuk mengembangkan usaha dalam memproduksi LNG yang bersih secara fisik, bebas karbon di Terminal Bontang.
"Termasuk offset melalui kredit karbon yang dapat diberikan oleh gas/LNG yang bersih secara fisik yang diproduksi di Indonesia," ujar Nicke.
Nicke menjelaskan, Pertamina dengan Chiyoda Corporation (Chiyoda) juga melakukan kerja sama studi aplikasi teknologi Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS), dan produksi hydrogen. Kerja sama ini dalam upaya dukungan Pertamina terhadap penurunan emisi melalui pengembangan energi baru dan terbarukan, sekaligus untuk mencapai emisi net-zero dan mempromosikan climate goals.
Tidak hanya Pertamina sebagai Holding, Sub Holding Pertamina New & Renewable Energi (PNRE) dan Subholding Commercial & Trading (C&T) juga melakukan penjajakan kerja sama dengan PT Grab Teknologi Indonesia dan PT Sepeda Untuk Indonesia.
Dalam MoU ini untuk pengembangan ekosistem Electronic Vehicle (EV) khususnya terkait bisnis baterai dan sistem penukaran baterai (battery swap) sampai peningkatan desain kendaraan EV.
Nicke mengatakan, Nota Kesepahaman tersebut merupakan bentuk realisasi untuk rekomendasi kebijakan kepada pemerintah, dan juga menunjukkan bagaimana G20 bisa mendorong realisasi dari apa yang telah dicanangkan.
"Oleh karena itu ada 4 kerja sama yang kita tanda tangani. Ini semua adalah mendukung program pemerintah untuk mencapai net-zero emissions di tahun 2060 dan yang medium term-nya adalah menurunkan karbon emisi di tahun 2030 itu antara 29 persen-41 persen," ujar Nicke.
Terkait B20, Nicke menambahkan, ada tiga tema yang diangkat, yaitu innovation, inclusivity, dan collaboration. Tiga tema tersebut harus diwujudkan guna merealisasikan target pemerintah untuk net zero emission.
"Oleh karena itu dengan penandatanganan tadi kita pun membuka kerja sama tersebut," kata Nicke.
Nicke menambahkan, ada dua hal selama ini menjadi isu penting yang membuat peningkatan new renewable energy ini menjadi berjalan tidak secepat yang diharapkan, yakni isu teknologi dan akses pendanaan.
Untuk teknologi, Indonesia tak dapat dipungkiri memiliki sumber energi yang sangat besar. Akan tetapi masih diperlukan teknologi serta inovasi dan kreatifitas untuk bisa memproses sumber daya tersebut menjadi sumber energi yang ramah lingkungan.
Sementara untuk akses pendanaan selama ini juga menjadi isu yang menghambat pengembangan energi baru terbarukan.
"Oleh karena itu di B20 ada task force khusus membahas tentang pendanaan ini, salah satunya adalah soal green funding ini yang membahas soal pengembangan dari new reneable energy ini akan semakin meningkat.
Nicke juga membahas soal affordability atau kemampuan finansial terkait dengan transisi energi. Karena, hingga saat ini dengan pengembangan teknologi yang sudah terjadi, energi baru dan terbarukan dinilai masih lebih tinggi harganya dibanding energi fosil.
Untuk itu, kata Nicke, yang harus dilakukan saat ini adalah bagaimana membuat program yang bisa menyeimbangkan hal-hal tersebut agar target pemerintah untuk net zero emissions di tahun 2060 tercapai.
"Ini tugas kita bersama untuk merumuskannya. Karena selain inovasi, kolaborasi dengan negara-negara maju yang mereka sendiri mengalokasikan sebagian dana untuk pengembangan renewable energy dan mendorong transisi energi di negara berkembang, ini pun harus kita bahas," ucap Nicke.
Tak hanya soal bisnis besar, lanjut Nicke, terkait UMKM di negara berkembang juga harus dipertimbangkan. Nicke menilai, rekomendasi kebijakan yang akan diusulkan nanti harus berdampak baik untuk sektor UMKM, karena lebih dari 90 persen tenaga kerja Indonesia terserap di sektor UMKM. Belum lagi kontribusi UMKM terhadap perekonomian nasional mencapai sekitar 64 persen.
"UMKM merupakan faktor penting karena ini menjadi kekuatan negara berkembang termasuk Indonesia ketika menghadapi krisis. Kalau UMKM ini bisa stabil maka recovery juga akan semakin cepat," kata Nicke.
(osc)