Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengendus sinyal penetapan harga serempak alias kartel oleh perusahaan minyak goreng dalam negeri. Pasalnya, harga minyak goreng dalam negeri melambung walau setiap produsen minyak goreng di Indonesia memiliki kebun kelapa sawit (CPO) masing-masing.
Komisioner KPPU Ukay Karyadi menilai kenaikan harga CPO di pasar internasional seharusnya tidak mempengaruhi minyak goreng di Indonesia karena RI adalah pemasok sawit dunia. Di sisi lain, harga pokok produksi (HPP) juga tak berubah.
Oleh karena itu, ia melihat ada indikasi para produsen minyak goreng 'aji mumpung' memanfaatkan kenaikan harga internasional sebagai alasan untuk menaikkan harga minyak goreng di dalam negeri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Namun, ia menyebut KPPU tidak bisa memastikan terjadi kartel karena dugaan harus dibuktikan secara hukum.
"Maka saya katakan apakah ada sinyal kartel? Sinyal sih terbaca tapi masalah terbukti atau tidak kartel harus dibuktikan secara hukum," kata Ukay pada konferensi pers daring, Kamis (20/2).
Menurut Ukay, sebetulnya bisa saja ada satu atau dua produsen yang mau memanfaatkan momentum dengan tak menaikkan harga minyak goreng seperti perusahaan lainnya. Sayangnya, hal tersebut tak terjadi dan produsen minyak goreng kompak menjual di atas harga HET, bahkan sempat menembus Rp20 ribu per liter.
Hal tersebut pula yang meyakinkannya akan sinyal kartel dari anomali kenaikan harga minyak goreng walau Indonesia merupakan produsen CPO nomor satu dunia.
Ia menduga para perusahaan besar yang menguasai pangsa pasar minyak goreng bisa mengatur kenaikan harga secara bersamaan karena besar daya tawar yang mereka miliki.
"Itu tidak terjadi karena kompak naiknya minyak goreng ini, itu lah yang saya katakan sinyal terjadinya kesepakatan harga," imbuhnya.
Ukay menjelaskan bahwa industri minyak goreng di RI memiliki struktur oligopoli. Hal ini tercermin dari rasio konsentrasi (consentration ratio/CR) 2019 di mana empat industri besar menguasai lebih dari 40 persen pangsa pasar minyak goreng di Indonesia.
"Walau punya kebun kelapa sawit masing-masing tapi mereka kompak menaikkan harga. Padahal biaya produksi sawit tidak ada kenaikan," jelas dia.
Di sisi lain, ia juga menyoroti kewajiban industri minyak goreng harus minimal 20 persen bahan baku dari kebun sendiri. Ia menuturkan regulasi ini membuat para pelaku usaha kecil dan menengah sulit masuk ke industri.
Bila begitu, oligapoli oleh perusahaan besar kian mengakar. Aturan tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 21 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/PERMENTAN/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
(wel/agt)