Ia pun justru menduga sebagian pelaku pasar justru menjual minyak goreng dengan harga yang sedikit lebih tinggi dibandingkan ketetapan pemerintah di pasar gelap.
"Ada beberapa kemungkinan sebagian pelaku pasar mungkin mereka menimbun dan akhirnya tidak menjual di pasar terbuka tapi lebih jual di pasar gelap artinya menjual secara diam-diam di luar tokonya dengan harga yang tinggi," katanya.
Ia menyarankan kepada pemerintah untuk tidak terlalu berfokus dengan kebijakan populis yakni menurunkan harga minyak goreng.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau memang harganya harus naik ya jangan dipaksa turun, kemudian dibuat kebijakan populis yang malah membuat barangnya gak ada," katanya.
Lebih lanjut, Akhmad menjelaskan pemerintah seharusnya mengkaji lebih dalam terkait alasan kelangkaan minyak goreng dengan harga yang murah di masyarakat.
"Minyak goreng sekarang masalahnya apakah karena produksinya lebih sedikit dari seharusnya atau produksinya sama harganya naik atau apakah karena ekspor keluar lebih banyak, jadi itu yang seharusnya diurai," katanya.
Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal mengatakan kebijakan pemerintah terkait harga minyak goreng dinilai sudah tepat. Namun, evaluasi perlu dilakukan terkait implementasi kebijakan di lapangan.
"Jadi sebetulnya kebijakan sudah tepat dari jangka pendek karena sudah keburu tinggi memang lewat subsidi lewat BPDPKS. DMO itu untuk kebijakan jangka menengah agar bisa menyelesaikan supply dalam negeri agar harganya bisa turun. Namun, operasional dan implementasinya kurang perhitungan dan kurang antisipasi," ujarnya.
Menurutnya, pemerintah seharusnya telah menyiapkan aturan yang perlu diimplementasikan setelah kebijakan minyak goreng satu harga diberlakukan agar tidak terjadi panic buying dan menyebabkan stok minyak goreng di masyarakat ludes terjual.
"Kalau ada kebijakan subsidi biasanya akan ada praktik panic buying dan spekulasi ataupun bisa juga spekulan yang memanfaatkan harga murah dan dijual dengan harga yang normal, itu kerap kali terjadi," katanya.
Selain Lutfi dan jajarannya, tambahnya, seharusnya pengawasan terkait minyak goreng juga dilakukan oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"Kementerian BUMN mungkin bisa berperan disitu karena ada sebagian yang melibatkan BUMN, ada juga dari sisi produsen jadi ini perlu ada kerja sama dengan pihak Asosiasi Bisnis dan industri tidak bertumpu ke satu kementerian saja," katanya.
Oleh karena itu, Faisal menyarankan pemerintah untuk membuat sistem pengawasan dan penegakkan distribusi minyak goreng dari hulu hingga ke hilir.
"Sepanjang mata rantai minyak goreng harus dicek, kalau tidak dilakukan, maka subsidi akan bocor dan salah sasaran sehingga tidak sampai ke masyarakat," tutupnya.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan justru mempertanyakan motif penimbunan yang dicurigai berpotensi terjadi di kalangan distributor.
"Tujuan untuk menimbun apa? Coba teliti evolusi kebijakan, (apabila) harga semakin ditekan oleh pemerintah, yang nimbun pasti rugi karena dari kebijakan satu harga sekarang harga (minyak goreng) menjadi lebih rendah khususnya kemasan sederhana dan curah," tegasnya.
Di lain sisi, ia mengklaim pihaknya tengah mendorong pasokan minyak goreng agar sampai ke pasar tradisional. "Sedang kami push untuk pasok migor curah ke pasar rakyat, sudah mulai berjalan. Pasokan baru diperkirakan akan tiba di pengecer dalam 2-3 hari," katanya.
Ia pun turut mengimbau kepada masyarakat untuk berlaku bijak dalam membeli minyak goreng dan tetap tenang karena pemerintah tengah berupaya memastikan pasokan minyak goreng sampai ke konsumen.
"Masyarakat untuk tenang karena sesuai arahan presiden, pemerintah akan mendahulukan kepentingan rakyat dengan memastikan ketersediaan pasokan dengan harga terjangkau. Beli dengan bijaksana sesuai dengan kebutuhan," katanya.