Jakarta, CNN Indonesia --
Minyak goreng menjadi komoditas pangan yang kini banyak diperbincangkan masyarakat. Wajar saja, sejak tahun lalu harga minyak goreng baik curah maupun kemasan melambung tinggi. Bahkan, kini stok minyak goreng justru terbilang langka setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan minyak goreng satu harga.
Pada pertengahan Januari, Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengeluarkan kebijakan minyak goreng satu harga sebesar Rp14 ribu per liter. Namun, kebijakan ini justru menuai kritik.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebut minyak goreng satu harga sebagai kebijakan yang sia-sia lantaran dinilai tidak efektif dan menggambarkan ketidakmampuan pemerintah dalam memahami kondisi pasar dan psikologi konsumen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ironi ya, negara penghasil CPO terbesar di dunia seharusnya harga minyak gorengnya terjangkau atau bahkan seharusnya jadi yang termurah di dunia. Dalam catatan saya, kebijakan subsidi Rp3,5 triliun dengan 1,2 miliar liter itu sebuah kebijakan yang sia-sia seperti menggarami laut. Terbukti tidak efektif sampai detik ini," kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi dalam webinar Para Syndicate, Jumat (28/1).
Pernyataan tersebut nampaknya beralasan. Pasalnya, sejumlah pedagang sembilan bahan pokok (sembako) di pasar tradisional mengaku kesulitan mendapat pasokan minyak goreng dengan harga Rp14 ribu per liter.
Tak hanya pasar tradisional, pramusaji ritel modern juga mengungkapkan hal serupa, di mana minyak goreng selalu ludes terjual setelah pembeli berbondong-bondong datang usai pengumuman harga minyak goreng murah pada Rabu (19/1) lalu. Imbasnya, ritel modern mengaku pasokan minyak goreng kosong beberapa hari terakhir.
Masalah pasokan belum usai, Kemendag justru mengeluarkan peraturan baru yang menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng per 1 Februari 2022.
Harga eceran yang ditetapkan mulai dari Rp11.500 per liter untuk minyak goreng curah, Rp13.500 untuk minyak goreng kemasan sederhana, dan Rp14.000 untuk minyak goreng kemasan premium.
Kebijakan tersebut dibuat Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dengan mewajibkan pemenuhan minyak goreng bagi konsumen dalam negeri (domestic market obligation/DMO) bagi ekspor minyak sawit.
Lutfi pun mendorong produsen untuk segera menyalurkan minyak goreng dan memastikan tidak terjadi kekosongan stok di tingkat pedagang dan pengecer.
Ia pun tak segan-segan akan mencabut izin usaha pengecer atau perusahaan minyak goreng yang menjual dengan harga di atas HET.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Akhmad Akbar Susamto mengatakan kebijakan pemerintah dalam menetapkan minyak goreng satu harga dinilai tidak akan efektif selama tidak memperbaiki jalur distribusi yang ada.
"Kebijakan yang diambil pemerintah itu kan penetapan harga, kalau harga minyak goreng harus sekian, kebijakan penetapan harga seperti ini tidak akan bisa menyelesaikan masalah kalau permasalahan distribusi tidak diatasi," kata Akhmad kepada CNNIndonesia.com, Rabu (2/2).
Baginya tidak heran apabila terdapat oknum distributor yang tidak menjual minyak goreng dengan harga yang ditetapkan pemerintah, sebab mereka sudah terlanjur membeli minyak goreng dengan harga pasaran. Dengan begitu, mereka enggan memasok minyak goreng dengan harga yang lebih murah.
"Misalnya, Anda distributor minyak goreng, kalau Anda sudah duluan beli minyak goreng sekian dengan harga di atas ketetapan pemerintah, tiba-tiba pemerintah minta jual harus di harga sekian. Jadi kebijakan itu kalau tidak diikuti langkah perbaikan supply tidak akan berhasil," ucapnya.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Ia pun justru menduga sebagian pelaku pasar justru menjual minyak goreng dengan harga yang sedikit lebih tinggi dibandingkan ketetapan pemerintah di pasar gelap.
"Ada beberapa kemungkinan sebagian pelaku pasar mungkin mereka menimbun dan akhirnya tidak menjual di pasar terbuka tapi lebih jual di pasar gelap artinya menjual secara diam-diam di luar tokonya dengan harga yang tinggi," katanya.
Ia menyarankan kepada pemerintah untuk tidak terlalu berfokus dengan kebijakan populis yakni menurunkan harga minyak goreng.
"Kalau memang harganya harus naik ya jangan dipaksa turun, kemudian dibuat kebijakan populis yang malah membuat barangnya gak ada," katanya.
Lebih lanjut, Akhmad menjelaskan pemerintah seharusnya mengkaji lebih dalam terkait alasan kelangkaan minyak goreng dengan harga yang murah di masyarakat.
"Minyak goreng sekarang masalahnya apakah karena produksinya lebih sedikit dari seharusnya atau produksinya sama harganya naik atau apakah karena ekspor keluar lebih banyak, jadi itu yang seharusnya diurai," katanya.
Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal mengatakan kebijakan pemerintah terkait harga minyak goreng dinilai sudah tepat. Namun, evaluasi perlu dilakukan terkait implementasi kebijakan di lapangan.
"Jadi sebetulnya kebijakan sudah tepat dari jangka pendek karena sudah keburu tinggi memang lewat subsidi lewat BPDPKS. DMO itu untuk kebijakan jangka menengah agar bisa menyelesaikan supply dalam negeri agar harganya bisa turun. Namun, operasional dan implementasinya kurang perhitungan dan kurang antisipasi," ujarnya.
Menurutnya, pemerintah seharusnya telah menyiapkan aturan yang perlu diimplementasikan setelah kebijakan minyak goreng satu harga diberlakukan agar tidak terjadi panic buying dan menyebabkan stok minyak goreng di masyarakat ludes terjual.
"Kalau ada kebijakan subsidi biasanya akan ada praktik panic buying dan spekulasi ataupun bisa juga spekulan yang memanfaatkan harga murah dan dijual dengan harga yang normal, itu kerap kali terjadi," katanya.
Selain Lutfi dan jajarannya, tambahnya, seharusnya pengawasan terkait minyak goreng juga dilakukan oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"Kementerian BUMN mungkin bisa berperan disitu karena ada sebagian yang melibatkan BUMN, ada juga dari sisi produsen jadi ini perlu ada kerja sama dengan pihak Asosiasi Bisnis dan industri tidak bertumpu ke satu kementerian saja," katanya.
Oleh karena itu, Faisal menyarankan pemerintah untuk membuat sistem pengawasan dan penegakkan distribusi minyak goreng dari hulu hingga ke hilir.
"Sepanjang mata rantai minyak goreng harus dicek, kalau tidak dilakukan, maka subsidi akan bocor dan salah sasaran sehingga tidak sampai ke masyarakat," tutupnya.
Penimbun Rugi
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan justru mempertanyakan motif penimbunan yang dicurigai berpotensi terjadi di kalangan distributor.
"Tujuan untuk menimbun apa? Coba teliti evolusi kebijakan, (apabila) harga semakin ditekan oleh pemerintah, yang nimbun pasti rugi karena dari kebijakan satu harga sekarang harga (minyak goreng) menjadi lebih rendah khususnya kemasan sederhana dan curah," tegasnya.
Di lain sisi, ia mengklaim pihaknya tengah mendorong pasokan minyak goreng agar sampai ke pasar tradisional. "Sedang kami push untuk pasok migor curah ke pasar rakyat, sudah mulai berjalan. Pasokan baru diperkirakan akan tiba di pengecer dalam 2-3 hari," katanya.
Ia pun turut mengimbau kepada masyarakat untuk berlaku bijak dalam membeli minyak goreng dan tetap tenang karena pemerintah tengah berupaya memastikan pasokan minyak goreng sampai ke konsumen.
"Masyarakat untuk tenang karena sesuai arahan presiden, pemerintah akan mendahulukan kepentingan rakyat dengan memastikan ketersediaan pasokan dengan harga terjangkau. Beli dengan bijaksana sesuai dengan kebutuhan," katanya.
[Gambas:Video CNN]