Stafsus Menaker soal Aturan Lama JHT: Belum Ada JKP
Staf Khusus Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) Dita Sari menjelaskan alasan pencairan jaminan hari tua (JHT) bisa dilakukan sebulan setelah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ataupun mengundurkan diri.
Menurut Dita, tata cara pencairan JHT dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 Tahun 2015 yang masih berlaku saat ini dibuat ketika belum ada program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Padahal, banyak terjadi PHK dengan keluhan tidak mendapat pesangon.
"Kenapa waktu itu boleh? Karena memang banyak PHK dan juga teman-teman yang di-PHK sering mengeluh tidak mendapatkan pesangon, belum ada JKP sebagai jaminan kehilangan pekerjaan atau unemployment benefit. Ya sudah jadi itu sebuah diskresi, supaya teman-teman yang di-PHK mendapatkan uang cash ya, boleh diambil JHT-nya," jelas Dita. dalam acara diskusi Dialog Aktual bertajuk "Untung-Rugi Permenaker JHT", Selasa (15/2).
Dengan akan diluncurkannya JKP, maka JHT tidak lagi menjadi bantalan terakhir lagi bagi para pekerja. Aturan baru, sambung Dita, juga sejalan dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
"Sekarang ada JKP, itulah sebabnya kemudian supaya tidak terjadi penumpukan atau redundant dari manfaat jaminan sosial yang ada, JHT kami kembalikan pada prinsipnya yaitu sebagai jaminan untuk hari tua, diambil pada saat kita berusia 56," terangnya.
Selain itu, pekerja masih dapat mencairkan sebagian dana JHT setelah 10 tahun menjadi peserta. Namun, besaran pencairan terbatas. Dalam hal ini, nilai yang dapat diklaim paling banyak 30 persen dari jumlah JHT untuk perumahan, atau paling banyak 10 persen untuk kebutuhan lainnya.
Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menerbitkan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran JHT. Dalam aturan itu, JHT baru bisa dicairkan sepenuhnya oleh peserta pada usia 56 tahun kecuali peserta cacat total tetap dan meninggal dunia.
Ketentuan baru itu menuai penolakan dari kalangan buruh dan memicu aksi unjuk rasa. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) juga telah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo untuk mendesak pembatalan aturan tersebut.