The International Finance Corporation (IFC), anggota Kelompok Bank Dunia, dituduh mendanai sejumlah perusahaan yang diduga melakukan praktik diskriminasi dan kerja paksa di Uighur, Provinsi Xinjiang, China. Tak tanggung-tanggung, nilai pinjaman tersebut ditaksir mencapai ratusan juta dolar.
The Helena Kennedy Center for International Justice menjadi lembaga yang membongkar hal tersebut. Mereka merilis laporan yang mengungkapkan bahwa IFC telah mendanai 4 perusahaan China yang diduga melakukan praktik kerja paksa, eksploitasi sumber daya alam, dan merusak peninggalan situs warisan budaya masyarakat setempat.
Keempat perusahaan yang dimaksud antara lain Chenguang Biotech Group, Camel Group, Century Sunshine, dan Jointown Pharmaceutical Group. Seluruh perusahaan tersebut diperkirakan menerima pinjaman dari IFC hingga US$439 juta atau setara Rp6,29 triliun (kurs Rp14.346 per dolar).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pinjaman tersebut dinilai bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh IFC yakni mencegah untuk mendanai proyek yang dapat merugikan lingkungan dan sosial dalam pengembangannya.
The Helena Kennedy juga mengungkapkan keempat perusahaan tersebut mungkin saja tidak hanya menerima pendanaan dari IFC, melainkan menerima suntikan dana dari sumber lainnya.
"Saya pikir sudah jelas bahwa IFC perlu melepaskan semua investasi mereka di wilayah Uighur tersebut," kata Pakar Hak Asasi Manusia dan Perbudakan Kontemporer di Sheffield Hallam University Laura Murphy seperti dikutip CNN Business, Kamis (17/2).
Di sisi lain, IFC membantah tudingan tersebut dan mengatakan bahwa pihaknya tidak memberikan toleransi terhadap diskriminasi dan kerja paksa dalam bentuk apapun.
"Kami tidak ada toleransi untuk kerja paksa dalam keadaan apa pun. Namun, tuduhan serius seperti itu akan tetap menjadi perhatian kami. Kami berupaya untuk memverifikasi dan mengatasinya dengan klien kami sesegera mungkin," ujar juru bicara IFC.