Rusia akan menghadapi krisis ekonomi baru menyusul langkah Moskow untuk memulai aksi militer di Ukraina. Rubel Rusia misalnya terjun bebas 10 persen ke level terendahnya terhadap dolar AS, termasuk euro pada Kamis (24/2) pagi.
Kejatuhan mata uang Rusia tersebut terjadi hanya dalam beberapa menit setelah pengumuman 'operasi khusus' oleh Presiden Rusia Vladimir Putin.
Bursa Rusia Indeks Moscom Exchange (MOEX) juga sempat anjlok 45 persen sebelum menutup perdagangan minus 33 persen pada perdagangan Kamis (24/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ekonomi Rusia diproyeksi bakal kian tertekan menyusul ancaman sanksi berat yang bakal diumumkan oleh kelompok barat.
Walau begitu, Moskow mengklaim ekonominya terlindungi dengan baik dari sanksi barat dan dampak ekonomi yang akan menyusul.
"Ini akan menyakitkan, tetapi kami telah melewatinya sebelumnya," kata seorang koresponden ekonomi seperti dikutip dari The Moswon Times pada Kamis (24/2).
Pemerintah Rusia mengatakan telah membangun cadangan yang signifikan, nilainya lebih dari US$630 miliar. Rusia meyakini cadangan itu bakal melindungi ekonominya dari krisis terburuk.
Di sisi lain, Rusia mencatatkan surplus tahunan yang artinya mereka tidak perlu meminjam uang tunai di pasar domestik atau internasional. Utang Pemerintah Rusia pun relatif rendah, di bawah 20 persen dari PDB negara.
Rusia pun pamer keberhasilan upaya substitusi impornya sejak mencaplok Krimea pada 2014, menyindir pengembangan industri pertaniannya berkat larangan impor makanan dari Uni Eropa.
BUMN perbankan terbesar di Rusia, Sberbank, mengeluarkan pernyataan bullish pada Kamis pagi dan mengklaim siap menghadapi setiap perkembangan situasi dan telah menyiapkan skenario untuk menjamin perlindungan sumber daya, aset dan kepentingan nasabah.
Neraca yang dijuluki 'benteng Rusia' oleh pemerintahan Putin tersebut diklaim sebagai sumber perlindungan ekonomi Rusia. Namun, para analis tak yakin dana tersebut bakal cukup untuk menghadapi kemungkinan tanggapan barat yang belum pernah terjadi sebelumnya, menunjuk pada konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang yang menghancurkan.
Diproyeksikan, BUMN perbankan Rusia yang besar bakal menghadapi sanksi dunia barat dengan memotong akses mereka ke ekonomi global. Washington dan Brussels juga ikut menekankan kemungkinan memblokir ekspor teknologi ke Rusia. Ini merupakan langkah serius yang bakal menimbulkan kerusakan dari bisnis negara dan swasta Rusia yang sangat bergantung pada perangkat keras dan lunak dari dunia barat.
Di sisi lain, lebih dari setengah ekspor Rusia juga masih menggunakan dolar AS sebagai acuan transaksi dan 30 persen lainnya menggunakan euro karena sebagian besar pembeli minyak dan gas menolak menggunakan mata uang Rusia.
Analis menilai hal tersebut menunjukkan kerentanan ekonomi Rusia terhadap dunia barat. Devaluasi rubel akan menekan krisis standar hidup karena mendorong kenaikan harga, mungkin secara dramatis. Belum lagi, jika menengok ekonomi domestik yang sebetulnya tidak tangguh-tangguh amat.
Tercatat inflasi Rusia mencapai titik tertingginya di level 8,7 persen dan keuangan rumah tangga juga lebih buruk dari dekade lalu. Sebuah survei milik negara akhir-akhir ini menemukan hampir 2/3 keluarga Rusia tak memiliki tabungan.
Dinamika itu akan memaksa bank sentral masuk dalam dilema yang sudah dikenal, menurunkan inflasi sementara tidak membebani ekonomi yang lebih luas. Analis memperkirakan bank sentral akan memprioritaskan yang pertama, seperti pada 2014 ketika ekonomi Rusia menghadapi krisis ekonomi yang parah menyusul aneksasi Krimea dan jatuhnya harga minyak global.