Ekonom Minta RI Waspadai Inflasi Akibat Perang Rusia Ukraina
Ekonom di dalam negeri meminta Pemerintah Indonesia mewaspadai imported inflation atau inflasi akibat kenaikan harga barang impor disertai pelemahan nilai tukar rupiah, akibat agresi militer Rusia terhadap Ukraina.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan kenaikan harga barang impor berasal dari bahan makanan yang diimpor dari Rusia dan Ukraina.
Ia mencontohkan sereal dan gandum RI yang banyak dipasok dari Ukraina. Menurut catatannya, impor sereal dari Ukraina mencapai US$700 juta per tahun.
"Pemerintah harus segera mencari opsi negara (importir) lain, seperti Australia atau China," ujar Bhima kepada CNNIndonesia.com, Jumat (25/2).
Selain sereal dan gandum, ia melanjutkan bahan makanan lain yang mayoritas impor juga patut diwaspadai, seperti bawang putih. Walaupun impor bawang putih banyak berasal dari India dan China, namun ongkos kirim atau logistik berpotensi naik.
"Karena ongkos kirim naik ditambah harga minyak juga naik, yang melemahkan nilai tukar rupiah, maka ini mengakibatkan imported inflation," jelasnya.
Selain itu, sambung Bhima, Indonesia juga akan menyambut ramadan dan lebaran, di mana tren harga bahan makanan naik.
"Bisa trasmisinya dalam 1-2 bulan ke depan. Yang jelas, jelang ramadan, inflasi akan lebih tinggi," imbuh dia.
Hal senada disampaikan Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet. Ia menuturkan perang Rusia Ukraina berpeluang menyeret harga pangan, utamanya minyak goreng. Pasalnya, harga minyak goreng mengacu harga CPO (minyak sawit mentah) di luar negeri.
Padahal, harga minyak goreng saat ini saja sudah melonjak. Bahkan, masih banyak diterapkan di atas harga eceran tertinggi (HET) pemerintah. "Sebelum invasi Rusia-Ukraina, CPO sudah relatif tinggi dan jadi penyebab harga minyak goreng dalam negeri lebih mahal," katanya.
Lonjakan harga minyak goreng, ia menyebut akan menyumbang inflasi di dalam negeri. Namun, ia mengaku belum melakukan kajian seberapa besar kenaikan inflasi akibat minyak goreng dan bahan makanan lainnya.
Belum lagi, harga minyak mentah yang terus melompat di atas US$100 per barel. Kenaikan harga minyak mentah diyakini bisa menggerogoti APBN tahun ini.
Apalagi, sebagian konsumsi bahan bakar minyak (BBM), LPG, dan listrik masyarakat masih disubsidi oleh pemerintah.
Sebagai informasi, harga minyak dalam asumsi makro APBN pada tahun ini hanya US$63 dolar per barel, jauh di bawah harga riil di pasar internasional.