Pengamat Desak Pemerintah Tak Pasif di Tengah Lonjakan Harga Minyak

CNN Indonesia
Jumat, 25 Feb 2022 17:00 WIB
Pengamat mendesak pemerintah untuk tidak pasif di tengah lonjakan harga minyak dunia yang menembus US$105 per barel, karena akan membebani APBN. Ilustrasi. (CNN Indonesia/Safir Makki).
Jakarta, CNN Indonesia --

Pengamat Ekonomi Energi UGM Fahmy Radhi menilai Pemerintah Indonesia tidak bisa hanya pasif memantau lonjakan harga minyak dunia yang menembus level US$105 per barel akibat perang Rusia-Ukraina.

Pasalnya, sambung Fahmi, RI merupakan negara net importer dan tidak diuntungkan sama sekali atas kenaikan harga minyak. Bahkan, membumbungnya harga minyak justru bakal merugikan dan memperberat beban APBN.

"Dalam kondisi tersebut, pemerintah tidak cukup hanya memantau perkembangan, tetapi harus mengantisipasi dan membuat proyeksi harga minyak yang menjadi dasar dalam mengambil keputusan terkait harga BBM di dalam negeri," jelas dia lewat rilis tertulis, Jumat (25/2).

Ia menyebut jika pemerintah tak segera mengkaji penyesuaian harga BBM mengikuti tren harga terkini, maka beban APBN akan makin berat dan Pertamina harus menjual BBM di bawah harga keekonomian.

Bila demikian, ia mewanti-wanti Pertamina berpotensi menanggung beban kerugian yang ujung-ujungnya ditanggung APBN.

"Namun, beban kerugian Pertamina tersebut diganti oleh pemerintah dalam bentuk dana kompensasi. Kenaikan harga minyak dunia tidak begitu berdampak terhadap Pertamina, tetapi akan memperberat beban APBN," terang Fahmi.

Guna mengurangi beban APBN, ia menyarankan pemerintah memutuskan kebijakan harga BBM. Pertama, menaikkan harga BBM jenis pertamax sesuai harga pasar. Kedua, menghapus BBM jenis premium yang bersubsidi content tinggi.

Ketiga, tidak menaikkan harga pertalite dengan mengalihkan subsidi premium sehingga harga pertalite tidak dinaikkan.

"Kenaikan harga pertalite akan punya dampak domino menaikkan inflasi dan menurunkan daya beli rakyat. Pasalnya, jumlah konsumen BBM terbesar dengan proposi mencapai 63 persen," imbuhnya.

Selain itu, ia menilai pemerintah perlu menyesuaikan ICP secara proporsional yang disesuaikan dengan perkembangan harga minyak dunia.

Seperti diketahui, harga minyak mentah dunia meroket mencapai US$105 per barel akibat konflik Rusia-Ukraina. Sebagai produsen utama minyak dan gas, pertikaian Rusia dan Ukraina membuat harga minyak melonjak drastis.



(wel/bir)
KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK