Dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan kenaikan harga batu bara di pasar internasional hingga tembus US$400 atau Rp5,76 juta (kurs Rp14.409 per dolar AS) per metric ton disebabkan oleh konflik Rusia-Ukraina.
Konflik mengganggu aliran pasokan emas hitam dari Rusia yang merupakan pemasok batu bara besar di dunia hingga mengangkat harganya.
"Karena Rusia itu penghasil batu bara yang besar dan dia memasok kebutuhan batu bara untuk Eropa. Makanya karena perang ini kan Rusia kena sanksi ekonomi sehingga tidak bisa mengekspor, maka kelangkaan pasokan di Eropa tadi. Sehingga harganya jadi naik," kata Fahmy kepada CNNIndonesia.com Senin (7/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menjelaskan harga batu bara memang sudah naik dari tahun lalu akibat meningkatnya krisis energi di pembangkit listrik di China dan India. Namun, sekarang peningkatan permintaan batu bara di pasar internasional dipicu oleh kenaikan harga komoditas lain, khususnya harga gas yang membuat negara-negara Eropa serta Jepang dan Korea beralih ke batu bara yang lebih murah.
"Pembangkit di Eropa dan di beberapa negara seperti Jepang dan Korea itu sebenarnya sebagian besar itu menggunakan gas. Tapi karena harga gas mahal, kemudian mereka beralih kembali menggunakan batu bara. Sehingga peningkatan permintaan sedangkan pasokannya tersumbat di Rusia tadi," jelasnya.
Di sisi lain, kenaikan harga batu bara dapat menguntungkan Indonesia. Pasalnya, Indonesia merupakan eksportir batu bara.
Sebab terhambatnya ekspor batu bara Rusia menjadi dapat peluang bagi Indonesia untuk bisa ekspor sampai dengan negara Eropa. Peningkatan itu diharapkan akan meningkatkan devisa negara.
Namun ia mengingatkan pengusaha untuk jangan serakah dalam meraup keuntungan dari naiknya batu bara itu. Pasalnya, keserakahan dapat berisiko terhadap terjadinya krisis batu bara di dalam negeri.
Terlebih kalau keserakahan itu kemudian membuat mereka mengabaikan kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) termasuk kepada PLN.
"Kan dia ada kewajiban untuk menjual ke PLN dengan harga US$70 per metric ton, nah kalau kemudian semua diekspor, maka krisis batu bara di PLN itu akan terulang kembali. Nah ini barangkali yang harus dicegah," ujar Fahmy.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan kenaikan harga batu bara di pasar internasional disebabkan
oleh panic buying yang terjadi karena akibat konflik Rusia-Ukraina.
Aksi panic buying muncul akibat persepsi pasar bahwa pasokan batu bara tidak mencukupi.
"Karena kan Rusia salah satu eksportir yang cukup besar di dunia dengan 110 juta ton ekspor batu baranya. Itu ke Eropa dan China yang besar. China itu 50 persen ekspor batu bara Eropa. Jadi bisa dibayangkan kalau terganggu ekspor batu bara ke China, sementara China tidak bisa imbangi permintaan itu kan ada kondisi shortage. Ya ini yang kemudian diterjemahkan oleh pasar dengan adanya kekurangan suplai, walaupun belum sih," ujar Fabby.
Ia menambahkan akibat sanksi-sanksi yang diterapkan terhadap Rusia, negara pengekspor batu bara tersebut kini terhambat perdagangannya. Akibat kondisi itulah muncul fenomena panic buying di pasar dunia, terutama China yang merupakan salah satu importir batu bara terbesar.
"Kita lihat dampak dari sanksi itu mungkin baru mulai terlihat nanti di pasar karena harga batu bara naik-naik terus, nah ini menciptakan efek panic buying. Memang tidak normal sih kenaikan harga itu, baik batu bara maupun harga gas ya di Eropa," ujar Fabby.