Sejak melanda dunia pada awal 2020 lalu hingga saat ini, pandemi Covid-19 telah meluluhlantakkan berbagai sektor dan sendi kehidupan. Sumber daya, dana, dan kebijakan yang dibuat para pemimpin negara terserap dominan secara khusus ke sektor kesehatan dan ekonomi.
Mobilitas masyarakat dan pekerja menurun. Bekerja dari rumah, hingga pembatasan perkantoran dan kegiatan masyarakat dilakukan demi memutus mata rantai kasus penularan Covid-19. Pada titik ini ada sisi positif di balik pandemi, yakni kualitas udara dan lingkungan secara umum menjadi lebih baik.
Asian Development Bank (ADB) memandang, sebenarnya pandemi membuka peluang bagi pemerintah untuk mengkalibrasi ulang kebijakan yang ada. Salah satunya dengan mengembangkan kebijakan inovatif yang dapat memobilisasi sumber daya keuangan guna mendorong pemulihan ekonomi hijau, inklusif, dan rendah karbon.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kebijakan fiskal yang 'hijau' semacam ini bisa digalakkan negara mana pun di tengah pandemi Covid-19. ADB mencontohkan, misalnya dengan upaya mengakhiri subsidi bahan bakar fosil, dan penetapan harga karbon yang berpotensi besar untuk mendorong pemulihan rendah karbon.
Asia-Pasifik dipandang ADB bisa menjadi motor gerakan baru dunia di tengah pandemi. Hal ini juga bertepatan dengan momentum global yang sedang mengkaji sejauh mana langkah penyelamatan dan pemulihan ekonomi telah memenuhi prinsip-prinsip ketahanan dan keberlanjutan. Gerakan ini berkelindan dengan Agenda 2030 mengenai Pembangunan Berkelanjutan dan Aksi Iklim di Asia dan Pasifik.
Hal tersebut tentu bukan perkara mudah. Biaya penyelamatan iklim butuh dana besar, dan membutuhkan strategi pembiayaan jangka panjang serta perencanaan investasi yang matang. Hal ini perlu untuk mengurangi risiko dan menghindari pemborosan.
Beberapa waktu lalu, Komisi Ekonomi dan Sosial PBB di Asia-Pasifik (UNESCAP) menyelenggarakan lokakarya bekerja sama dengan Green Fiscal Policy Network bertajuk 'The Role of Fiscal Policies in a Green Covid-19 Recovery'.
Agenda ini membahas peran kebijakan fiskal dalam mendukung pemulihan hijau di Asia dan Pasifik. Lokakarya ini menghadirkan pakar pemerintah terkemuka, organisasi internasional, think tank, akademisi, dan pakar dari sektor swasta.
Di ajang tersebut, para ahli bertukar gagasan dan riset, membahas sebarapa penting kebijakan fiskal hijau selama ini dilakukan sejumlah negara dapat menyelaraskan tujuan lingkungan, sosial, dan ekonomi hijau. Di akhir acara, mereka menyepakati beberapa masalah penting.
Pertama, para ahli beranggapan pengeluaran untuk pemulihan belum sepenuhnya mengintegrasikan masalah kebijakan iklim dan lingkungan secara memadai. Ada banyak ruang untuk perbaikan.
Rekomendasi yang diberikan, yakni pemerintah harus memprioritaskan pengeluaran fiskal yang mendukung pemulihan hijau dan berinvestasi dalam solusi rendah karbon jangka panjang. Aksi ini menjadi bagian dari kritik terhadap pengeluaran jangka pendek yang tidak berkelanjutan hanya untuk menyubsidi bahan bakar fosil.
Kedua, para ahli berpandangan pengeluaran untuk pemulihan ekonomi terjadi dengan tidak merata antara negara maju dengan sejumlah negara berkembang. Pada titik ini, para ahli berpandangan lembaga moneter internasional dapat membantu negara-negara untuk memprioritaskan dan mengalokasikan kembali sumber daya dalam ruang fiskal yang ada dan mengintegrasikan masalah lingkungan secara sistematis.
Terlepas dari itu, ketegasan pemerintah dipandang menjadi hal yang penting untuk mengatur para pihak swasta mendorong infrastruktur hijau. Komitmen pemerintah terhadap net-zero emission menjadi insentif paling penting bagi lembaga keuangan dan bisnis untuk membuat komitmen yang sebanding.
Pemerintah dinilai bisa memulai hal ini dengan mengeluarkan inisiatif penetapan harga karbon, seperti pajak karbon dan skema perdagangan emisi.
Hal lainnya, yakni reformasi subsidi bahan bakar fosil, pajak karbon dan skema perdagangan emisi memiliki peran penting dalam mendorong investasi rendah karbon. Dialog regional dapat memfasilitasi pertukaran pembelajaran tentang desain instrumen penetapan harga karbon, membantu negara-negara mengidentifikasi dan mereplikasi strategi yang berhasil dan menciptakan platform bagi negara-negara untuk mengeksplorasi peluang untuk menghubungkan instrumen penetapan harga karbon.
Terakhir, tak sedikit ahli yang menggarisbawahi pentingnya komunikasi banyak pihak, melibatkan masyarakat, swasta dan pemangku kepentingan demi kelanjutan kebijakan fiskal hijau. Pencapaian SDGs yang berkaitan dengan perubahan iklim jelas membutuhkan kolaborasi semua lapisan masyarakat.
Pemulihan 'hijau' akan menjadi salah satu topik dalam Southeast Asian Development Symposium 2022 (#SEADS2022), pada 16-17 Maret 2022. Di acara yang terbuka untuk umum ini, ADB mengajak para pemangku kepentingan dan masyarakat untuk mencari solusi bagi upaya pemulihan yang berkelanjutan di Asia Tenggara.
(osc)