Pengamat di dalam negeri angkat suara soal proyeksi Goldman Sachs yang memperingatkan dunia global terhadap kelangkaan energi dari perang Rusia-Ukraina. Bahkan, menurut Direktur Eksekutif for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, krisis energi, utamanya minyak mentah, masih terlalu jauh.
Alasannya, ia menilai pasokan minyak mentah global saat ini masih sangat dinamis. "Dalam kondisi sekarang, banyak sekali ramalan dan prediksi. Sekali lagi ya, ini prediksi," tutur Fabby kepada CNN Indonesia, Jumat (11/3).
"Kondisi pasokan minyak sangat dinamis. Konflik Rusia-Ukraina hanya salah satu faktor yang meningkatkan dinamika demand (permintaan) dan supply (pasokan) minyak dan gas," lanjut Fabby.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Ia tidak menafikan bahwa kekhawatiran terkait sanksi AS dan negara barat terhadap Rusia memang akan mengganggu ekspor minyak dan gas (migas).
Apalagi, Rusia adalah salah satu produsen minyak terbesar, 11 juta-11,5 juta barel per hari dan mengekspor 7 juta-7,5 juta barel per hari ke berbagai negara.
Sebelumnya, proyeksi Goldman Sachs mengkhawatirkan sanksi untuk negeri beruang merah itu akan membuat ekspor minyak Rusia tidak masuk ke pasar dan menciptakan shortage of supply.
Memang, Fabby mengakui meskipun negara-negara OPEC belum lama ini menyatakan bisa menggantikan pasokan minyak Rusia, namun ini tidak mudah.
Pasalnya, spare capacity OPEC tidak cukup mengganti pasokan tersebut. Apalagi, selama tahun lalu, negara-negara tersebut memiliki produksi minyak lebih rendah dari pada targetnya.
"Melarang impor minyak mentah Rusia bisa membuat sejumlah kilang yang rancangan memakai jenis minyak dari Rusia tidak bisa memproduksi BBM," jelasnya.
"Saat ini, baru AS yang melarang impor minyak dari Rusia, negara-negara lain masih menimbang-nimbang. Selain itu, pasokan minyak global masih belum pasti, dan ikut meningkatkan risiko krisis pasokan minyak dunia spt yang diperkirakan oleh Goldman Sachs," sambung Fabby.
Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan. Ia menilai untuk sampai ke lubang krisis energi, agaknya masih cukup panjang. Sebab, sekalipun Rusia setop memproduksi, OPEC masih mampu untuk meningkatkan tahapan produksi mereka.
"Kita berharap saja tekanan internasional untuk meminta OPEC meningkatkan produksi bisa terus dilakukan. Hal ini yang bisa menjaga stabilitas pasokan secara global dan pastinya menjaga harga minyak dunia," kata Mamit.
Sebelumnya, Ahli Strategi Goldman Sachs mengatakan ketidakpastian dalam konflik tersebut akan berdampak pada krisis pasokan minyak dunia. Dalam perkembangannya, Amerika Serikat mengumumkan larangan impor minyak Rusia. Langkah itu kemudian disusul Inggris yang berjanji akan menghapus impor minyak Rusia pada akhir tahun ini.
"Mengingat peran kunci Rusia dalam pasokan energi global, ekonomi global dapat dihadapkan pada salah satu guncangan pasokan energi terbesar yang pernah ada," imbuh Goldman Sachs dalam laporannya.
Sementara itu, Rystad Energy memprediksi jika negara-negara barat lainnya mengikuti jejak Amerika secara massal dan melarang minyak Rusia, harga minyak mentah akan meroket hingga US$240 per barel musim panas ini.