Memahami Risiko Gagal Bayar Utang Rusia di Tengah Invasi ke Ukraina

CNN Indonesia
Rabu, 16 Mar 2022 17:25 WIB
Pemerintah Rusia menghadapi ancaman gagal bayar utang di tengah invasi ke Ukraina.
Pemerintah Rusia menghadapi ancaman gagal bayar utang di tengah invasi ke Ukraina. Ilustrasi. (CNN Indonesia/Andry Novelino).
Jakarta, CNN Indonesia --

Pemerintah Rusia menghadapi ancaman gagal bayar bunga utang US$117 juta (setara Rp1,67 triliun; asumsi kurs Rp14.301 per dolar AS) kepada dua lembaga Eurobonds berdaulat pada Rabu (15/3), waktu setempat. Utang ini merupakan satu dari empat pembayaran kepada kreditur yang jatuh tempo di Maret.

Dilansir dari cnbc.com, kegagalan untuk membayar tagihan tersebut akan menandai gagal bayar pertama Rusia sejak 1998 saat negara gagal bayar utang domestik, dan gagal bayar utang mata uang asing pertama Rusia sejak Revolusi Bolshevik pada 1918.

Salah satu penyebabnya adalah Rusia menghadapi kesulitan untuk membayar dalam mata uang asing. Hal ini merupakan dampak langsung dari sederet sanksi internasional terhadap Bank Sentral Rusia sebagai tanggapan terhadap invasi negara beruang merah pada Ukraina yang memblokir sebagian besar cadangan devisa negara itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Langkah-langkah yang diambil oleh Moskow untuk mengurangi dampak dari sanksi ekonomi global, seperti pengendalian modal, telah membuat lembaga-lembaga internasional menurunkan kemampuan Pemerintah Rusia membayar utang. Kondisi ini mengindikasikan gagal bayar utang Rusia sangat mungkin terjadi.

Untuk memitigasi kejadian tersebut, Menteri Keuangan Rusia Anton Siluanov mengatakan bahwa Rusia akan menggunakan cadangan mata uang Yuan China untuk melakukan sebagian pembayarannya, mengingat euro dan dolar tidak dapat diakses karena sanksi.

Sebagai alternatif, pemerintah telah memperingatkan bahwa pembayaran kepada kreditur dari negara-negara "musuh" akan dilakukan dalam rubel, mata uang Rusia yang telah terjun bebas sejak dimulainya invasi ke Ukraina.

William Jackson, kepala ekonom pasar berkembang di Capital Economics, menjelaskan bahwa meski beberapa obligasi FX Rusia, yang diterbitkan dari 2018, mengizinkan pembayaran dalam rubel jika tidak dapat dilakukan dalam mata uang lain. Namun, ini tidak berlaku untuk status pembayaran sekarang.

Jackson menjelaskan upaya Rusia membayar utang dalam rubel menjadi penanda negara telah gagal bayar meski masih ada masa tenggang 30 hari sebelum status itu dapat dinyatakan secara resmi.

"Mungkin risiko yang lebih besar adalah hal ini mungkin menandakan awal dari runtutan gagal bayar oleh perusahaan-perusahaan Rusia, dengan utang luar negerinya empat kali lebih besar daripada utang negara," katanya.

Negara-negara Barat sebenarnya menginginkan Rusia menggunakan sisa aset mata uang asing yang dapat diakses untuk membayar kreditur. Menurut ahli strategi senior pasar negara berkembang di BlueBay Asset Management Timothy Ash, hal ini akan melepas lebih banyak FX Rusia.

"Pesannya seolah-olah Kementerian Keuangan Rusia bersedia dan mampu membayar, tetapi dicegah oleh sanksi terhadap Bank Sentral. Jadi Rusia ingin mengungkapkan jika Barat ingin kreditur Barat dibayar, maka sanksi terhadap Bank Sentral Rusia perlu diringankan," ujar Ash.

Apabila tidak bisa membayar, Rusia bisa dicap negara yang gagal bayar utang alias default oleh lembaga internasional. Hal ini akan membuat biaya pinjaman Rusia tetap tinggi dan membatasi pilihan pembiayaan, bahkan dari negara-negara seperti China.

"Bahkan jika perang berakhir dengan cepat, dan perdamaian diselesaikan, pasar dan lembaga pemeringkat akan mengingat krisis ini selama rentan waktu yang cukup lama dan peringkat Rusia di daftar lembaga akan lambat untuk pulih. Ini akan menghambat perkembangan ekonomi Rusia di tahun-tahun mendatang," tambahnya.

[Gambas:Video CNN]



(sfr/tdh/sfr)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER