YLKI Kritik Kebijakan Minyak Goreng: Konsumen dan Operator Jadi Korban
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyayangkan bongkar pasang kebijakan minyak goreng pemerintah. Menurutnya, kebijakan coba-coba tersebut membuat konsumen hingga operator menjadi korbannya.
Hal tersebut ia lontarkan karena baru belum genap dua bulan pemerintah menetapkan HET minyak goreng kemasan Rp14 ribu per liter, kini kebijakan berubah lagi. Pada Rabu (16/3), pemerintah mengumumkan HET Rp14 ribu berlaku untuk minyak goreng curah dan harga kemasan mengikuti dinamika pasar.
"YLKI sangat menyayangkan, terkait bongkar pasang kebijakan migor, kebijakan coba-coba, sehingga konsumen, bahkan operator menjadi korbannya," jelas dia lewat rilis, Kamis (17/3).
Tulus pun mendesak pemerintah memperketat pengawasan HET minyak goreng curah dengan harga Rp14 ribu. Ia tak ingin kelompok konsumen minyak premium mengambil hak konsumen menengah bawah dengan memborong minyak goreng curah yang harganya jauh lebih murah.
"Idealnya subsidi minyak goreng sebaiknya bersifat tertutup saja, by name by address, sehingga subsidinya tepat sasaran," imbuhnya.
Dari kacamatanya, subsidi terbuka seperti sekarang ini berpotensi salah sasaran karena minyak goreng murah gampang diborong oleh kelompok masyarakat mampu. Kalau itu dibiarkan, masyarakat menengah bawah bisa kesulitan mendapatkan minyak goreng murah.
"Pemerintah seharusnya belajar dari subsidi pada gas melon," ujarnya mengingatkan.
Karena itu lah, YLKI mendesak Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk mengulik dugaan kartel dan oligopoli dalam bisnis minyak goreng, CPO, dan sawit.
Tulus turut mendesak pemerintah untuk transparan terkait ke mana mengalirnya kewajiban DMO 20 persen, apakah itu ke industri atau ke biodiesel.
"Sebab DMO 20 persen memang tidak akan cukup kalau disedot ke biodiesel. Dalam kondisi seperti sekarang, CPO untuk kebutuhan pangan lebih mendesak dari pada untuk energi," ujarnya.
Di sisi lain, ia mengakui kebijakan terbaru pemerintah di atas kertas atau secara umum lebih market friendly dan diharapkan hal ini bisa memperbaiki distribusi dan pasokan minyak goreng di masyarakat dengan harga terjangkau.
Pasalnya, selama ini intervensi pemerintah pada pasar minyak goreng dengan cara melawan pasar terbukti gagal total dan malah menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat.