Kota-kota di Asia Tenggara dinilai perlu merespons serius gelombang urbanisasi, para pencari kerja, tanpa mengesampingkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan secara merata. Hal ini mengemuka dalam panel diskusi yang membahas tantangan wilayah perkotaan, di Simposium Pembangunan Asia Tenggara (Southeast Asia Development Symposiums, SEADS) 2022 yang digagas oleh Asian Development Bank (ADB).
Persoalan urbanisasi ini bermuara pada perlunya infrastruktur perkotaan berkembang sembari menjawab tantangan dan ancaman iklim. Belum lagi ancaman pandemi Covid-19 yang menghambat sejumlah pertumbuhan, bahkan meningkatkan angka pengangguran di perkotaan.
Direktur Jenderal ADB untuk Asia Tenggara, Ramesh Subramaniam menyebut kolaborasi adalah hal penting dalam pembangunan kawasan perkotaan. Perencanaan kota yang terpadu perlu andil para pelaku perekonomian, mulai dari pemerintah dalam hal ini kepala daerah, lembaga keuangan, dan para pelaku usaha. Ramesh menyebut sedikitnya tiga negara, yakni Indonesia, Kamboja, dan Filipina sudah menerapkan hal tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita telah melihat pelajaran yang baik di tiga negara itu. Saya pikir tantangannya adalah bagaimana kita mempertahankannya di masa depan khususnya dalam menjalani pasca- pandemi (Covid-19)," ujar Ramesh saat menjadi pembicara di panel 'The Future of Sustainable Cities' SEADS 2022, Kamis (17/3).
Pembangunan perkotaan untuk mencapai titik ideal, kata Ramesh, tidak bisa lepas dari peran berbagai komponen, termasuk pendanaan. Menggunakan penelitian yang dilakukan ADB, pembangunan untuk sektor perkotaan di Asia Tenggara setidaknya membutuhkan dana hingga US$200 juta.
"(Pembiayaan) itu tidak dapat dilakukan oleh sektor publik atau hanya satu institusi saja. Kita perlu menyatukan seluruh pemangku kepentingan dalam ekosistem ini," ujar Ramesh, sembari memberi catatan bahwa konsolidasi fiskal yang dilakukan oleh sejumlah negara membuat pendapatan yang diterima secara nasional akan lebih kecil untuk diteruskan ke tingkat lokal/daerah.
Di tengah kebutuhan dana pembangunan fisik, kata Ramesh, daerah juga harus memikirkan tantangan memenuhi tujuan pembangunan berkelanjutan. Pada titik ini, lanjut Ramesh, ADB dapat mengambil peran untuk memfasilitasi kerja sama sektor publik dan swasta.
"Pembangunan di Asia harus paralel antara fasilitas keuangan, menuju lingkungan yang mendukung," ujar Ramesh.
Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil yang juga berbicara di panel ini, membenarkan bahwa peningkatan populasi di wilayah perkotaan menciptakan tekanan pada sumber daya, kompetisi pekerjaan, hingga isu pendidikan. Selain itu, ancaman iklim karena pemanasan global juga kian nyata dan tidak bisa diabaikan.
"Sehingga saya memandang bahwa infrastruktur hijau berkelanjutan dan kebijakan hijau sangat penting untuk merespons berbagai tantangan tersebut," ujar Ridwan Kamil.
Selain itu, perkembangan era digital dan pandemi, kata Ridwan, membuat pemerintah daerah harus proaktif menjawab segala tantangan yang ada.
"Dalam dua tahun terakhir, saya melihat, berapa banyak orang yang dipaksa untuk berubah. Krisis membuat kita terus berubah," ujarnya.
"Pelajaran nomor satu yang kita ambil dari Jawa Barat, adalah bahwa pemerintah harus proaktif. Kunci untuk memecahkan krisis adalah dengan tidak menunggu," katanya menambahkan.
Kunci kedua dari sisi pemerintah, lanjut Ridwan, adalah transparansi baik dalam hal kebijakan maupun pengelolaan anggaran. Tanpa menyebut negara tertentu, Ridwan menyebut bahwa kekacauan di berbagi tempat terjadi lantaran pemerintah yang tidak transparan. Sedangkan kunci ketiga adalah kebijakan yang bersandar pada data ilmiah.
"Kebijakan tidak boleh diambil dengan mengabaikan data ilmiah," ujar Ridwan Kamil.
Pembicara lainnya, Group Advisor on Tech & Social Impact for Grab, Ilaria Chang menyebut teknologi menjadi kunci penting meningkatkan perekonomian berkelanjutan. Ilaria berpesan bahwa teknologi sejatinya hadir untuk kebaikan.
"Pemberdayaan ekonomi dapat dihasilkan oleh teknologi jika dimanfaatkan dengan cara yang baik. Teknologi benar-benar dapat memberikan peluang yang inklusif dan berkeadilan dengan cara terukur dan tidak diskriminatif," ujar Ilaria.
Pada situasi kawasan di Asia Tenggara di tengah pandemi Covid-19 ini, teknologi jasa keuangan perlu terus digalakkan dengan tujuan pemulihan ekonomi. Ilaria mencatat, 6 dari 10 orang di Asia Tenggara belum memiliki akses ke layanan perbankan.
Ilaria mengatakan, dengan memanfaatkan teknologi, produk-produk keuangan seperti asuransi dan pinjaman mikro dapat dinikmati konsumen di Asia Tenggara tanpa diskriminasi.
"Kita melihat betapa merajalelanya rentenir di kawasan ini, dan bagaimana mereka mengincar masyarakat yang belum memiliki literasi keuangan yang memadai," ujarnya.
Menutup paparannya di SEADS, Ilaria mengatakan, teknologi yang didukung pendidikan literasi keuangan, berpeluang dapat menyelesaikan persoalan di negara berkembang, termasuk di kawasan perkotaan Asia Tenggara.
(osc)