Mengenal Beda Minyak Goreng Curah Pedagang dan Industri
Pemerintah mengubah kebijakan terkait minyak goreng sawit curah dari yang pada mulanya berbasis perdagangan menjadi berbasis industri.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 8 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Curah untuk Kebutuhan Masyarakat, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), minyak goreng curah diartikan sebagai minyak goreng berbahan baku sawit yang dijual kepada konsumen tidak dalam kemasan dan tanpa label atau merek.
Konsumen pun dapat mencakup pedagang maupun pemain industri yang membeli minyak goreng curah untuk keperluan produksi.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, kebutuhan minyak goreng sawit (MGS) nasional 2021 sebesar 5,07 juta ton. Angka ini terdiri dari kebutuhan curah industri sebesar 1,62 juta ton atau 32 persen dari kebutuhan nasional.
Sedangkan minyak goreng curah untuk kebutuhan rumah tangga 2,12 juta ton alias 42 persen dari kebutuhan total.
Lantas, apa yang membedakan minyak goreng curah yang dijual oleh pedagang minyak goreng dan minyak goreng curah yang di tingkat industri?
"Intinya, perbedaannya ada di cara pembelian dan harga. Industri besar membeli dengan harga pasar secara B2B, MGS curah dengan harga eceran tertinggi boleh dibeli oleh usaha kecil dan usaha mikro," ujar Hubungan Media Kementerian Perindustrian Krisna Sulistiyani kepada CNNIndonesia.com, Kamis (24/3).
Menurut Ketua Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi Lukman, pengusaha, khususnya yang bergerak di industri makanan, membutuhkan MGS sebagai bahan baku atau bahan penolong.
Mereka seperti industri mi instan, makanan ringan, dan ikan dalam kaleng. Mereka membeli MGS dengan mekanisme B2B dengan harga yang berlaku.
"Khusus untuk industri makanan skala UMKM dan IKM masih diperbolehkan membeli MGS dengan HET sesuai Pasal 4 ayat 2 Permendag No. 6 Tahun 2022," ujarnya melalui pernyataan resmi.
Industri dianjurkan untuk tidak menggunakan pasokan MGS curah hasil kebutuhan MGS curah hasil Domestic Market Obligation (DMO) guna memenuhi kebutuhan sebesar 1,62 juta ton. Hal ini karena industri biasa menerima suplai dari pabrik MGS milik grupnya dengan harga pasar atau membeli dari pabrik dengan mekanisme Business to Business (B2B).
Sehingga DMO diharapkan dapat disalurkan untuk memenuhi kebutuhan MGS di tingkat masyarakat, pedagang maupun usaha kecil.
Sedangkan tujuan dibentuknya Permenperin Nomor 8 2022 sendiri adalah menjamin ketersediaan minyak goreng curah di level pedagang. Dengan kebijakan itu ia berharap minyak goreng bisa diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, usaha mikro, dan usaha kecil.
Dalam hal ini, minyak goreng curah untuk kebutuhan industri tidak masuk ke dalam skema tersebut.
Sebelumnya, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Ukay Karyadi sempat mengkhawatirkan bahaya kebijakan HET minyak goreng curah dapat dimanfaatkan oleh pelaku industri untuk meraup keuntungan dari minyak goreng curah yang seharusnya diperuntukkan untuk kalangan pedagang.
"Karena dengan ada harga yang murah menurut pasar pelaku usaha menengah, atas bisa beli. Bahkan yang industri pun bisa membeli kalau tidak diawasi, yang tadinya untuk masyarakat bisa dibelokkan untuk industri. Itu harus ada pengawasannya," ujar Ukay.
Meski ia merasa keputusan pemerintah menaikkan HET ke Rp14 ribu masih kurang tepat, pihaknya mengaku hal tersebut dapat dijadikan solusi jangka pendek untuk menstabilkan harga minyak goreng di pasar.