Memang, sambung Bhima, Pertamina akan mendapatkan harga minyak lebih murah dari Rusia. Namun, negara harus menanggung konsekuensi atas tindakan tersebut.
"Kalau soal harga memang untung dari Rusia, tapi ada efek samping terutama ekspor dan investasi," jelas Bhima.
Ekspor dan investasi adalah beberapa komponen yang masuk dalam indikator pertumbuhan ekonomi di RI. Jika dua komponen itu turun, maka akan berdampak negatif untuk ekonomi dalam negeri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov menilai rencana Pertamina untuk mengimpor minyak dari Rusia sudah tepat. Sebab, Pertamina akan mendapatkan harga murah dari biasanya.
"Kebutuhan minyak mentah tinggi, sekarang harganya sudah US$120 per barel. Tapi ruang Pertamina untuk mengubah harga jual sesuai keekonomian tidak mudah karena mempertimbangkan daya beli, inflasi," ucap Abra.
Dengan demikian, jika Pertamina berhasil mendapatkan minyak mentah lebih murah, maka beban biaya produksi akan ikut menurun. Alhasil, walaupun harga jual bahan bakar minyak (BBM) harus tetap naik, nominalnya tak akan terlalu signifikan.
"Jadi beli minyak di Rusia memang mendesak," tegas Abra.
Saat ini, manajemen Pertamina sedang mengkaji kenaikan harga jual BBM Pertamax. Hal ini sejalan dengan kenaikan harga minyak mentah dunia yang tembus lebih dari US$100 per barel.
Kementerian ESDM bahkan berpotensi menaikkan batas atas harga jual BBM RON 92 (Pertamax) menjadi Rp16 ribu per liter. Sementara, Pertamina masih menjual Pertamax sekitar Rp9 ribu per liter, jauh di bawah harga keekonomian.
Abra mengakui rencana pembelian minyak mentah dari Rusia adalah pilihan yang sulit bagi Pertamina. Keputusan ini akan mendatangkan banyak kritik dari negara barat dan AS.
Bahkan, Abra mengamini ada potensi negara barat dan AS menyetop ekspor dan menghentikan investasi di RI. Meski begitu, masalah bisa selesai asal Indonesia punya argumentasi yang kuat.
"Ini kebutuhan mendasar untuk ketahanan energi. Pemerintah Indonesia harus punya argumentasi yang cukup mendasar bahwa ini semata-mata soal bisnis, lalu demi menjaga kestabilan ekonomi dan sosial," papar Abra.
Ia menilai pemerintah harus mengedepankan kepentingan rakyat. Jangan gara-gara takut dengan negara barat dan AS, pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas Pertamina menggagalkan rencana manajemen untuk mengimpor minyak dari Rusia.
Terlebih, Abra memandang jika Pertamina membatalkan rencana pembelian minyak dari Rusia, maka biaya yang harus dikeluarkan untuk mengimpor minyak akan jauh lebih besar. Ujung-ujungnya, perusahaan berpotensi mengerek harga jual Pertamax secara signifikan.
Lihat Juga : |
"Kalau tidak jadi ambil minyak dengan harga lebih murah, maka ada potensi inflasi dan daya beli di dalam negeri. Ada gejolak di dalam negeri, ujung-ujungnya ke pertumbuhan ekonomi," tutur Abra.
Sama halnya jika Eropa dan AS menyetop impor dari RI dan menghentikan rencana investasi, maka pertumbuhan ekonomi juga berpotensi melambat.
"Risikonya sama-sama besar. Tapi kalau Pertamina impor minyak dari Rusia, kan pemerintah bisa menjelaskan ke dunia bahwa ini dilakukan untuk menjaga ketahanan energi dan stabilitas ekonomi sosial di dalam negeri," jelas Abra.
Senada, Pengamat Hubungan Internasional (HI) Teuku Rezasyah berpendapat tak masalah Pertamina mengimpor minyak mentah dari Rusia asalkan dapat harga lebih murah dari negara lain. Pasalnya, hal itu akan mempengaruhi harga jual BBM di Indonesia.
"Tinggal jelaskan nanti ke dunia bahwa ini soal bisnis, tapi pemerintah memang terus memonitor keadaan yang terjadi di antara Rusia dan Ukraina," ucap Teuku.
Lagipula, Indonesia butuh stok energi dengan biaya yang lebih rendah demi menjaga daya beli masyarakat. Selain itu, PBB juga belum memberikan sanksi resmi kepada Rusia karena menginvasi Ukraina.
"Jadi Indonesia sah-sah saja beli minyak dari Rusia. Pemerintah harus tegas. Kalau menyangkut ketahanan energi, semua negara harus pilih sumber yang paling memadai," tutup Teuku.