Mata uang rubel Rusia mulai pulih ke level sebelum perang dengan Ukraina. Realisasi ini berbanding terbalik dengan prediksi bahwa perang itu akan menjatuhkan rubel.
Mengutip Reuters, Selasa (5/4), rubel sempat mencapai 80,33 per dolar AS pada Jumat (1/4) lalu. Angka itu menguat jika dibandingkan dengan 10 Maret 2022 yang mencapai 121,5 per dolar AS.
Kenaikan rubel didorong oleh penerimaan Rusia dari ekspor energi tumbuh. Sementara, impor menyusut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun begitu, bukan berarti Rusia sudah bangkit atau keluar dari masalah ekonomi pasca menginvasi Ukraina.
Beberapa pihak memproyeksi produk domestik bruto (PDB) Rusia menyusut 10 persen-15 persen tahun ini. Negara beruang merah berpotensi menjadi lebih cepat miskin karena inflasi yang melambung.
"Ini (pemulihan rubel) tidak boleh dianggap sebagai pendanaan pasar tentang prospek jangka menengah hingga jangka panjang untuk Rusia," kata Analis di Commerzbank Ulrich Leuchtmann.
Sementara, Bank Dunia (World Bank) menilai perang Rusia-Ukraina juga berdampak pada ekonomi Asia Timur dan Pasifik. Lembaga itu memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi kawasan tersebut dari 5,4 persen menjadi 5 persen pada 2022.
"Guncangan yang beragam membuat kami menurunkan proyeksi pertumbuhan yang cukup signifikan, sehingga pertumbuhan yang paling dapat terwujud adalah 5 persen secara rata-rata," ungkap Kepala Ekonom Bank Dunia Asia Timur dan Pasifik Aaditya Mattoo, dikutip dari Antara, Selasa (5/4).
Guncangan yang dimaksud adalah pandemi covid-19, perang Rusia dan Ukraina, lonjakan inflasi di beberapa negara, pengetatan kebijakan moneter di Amerika Serikat (AS), serta perlambatan struktural di China.
Jika kondisi global memburuk dan respons kebijakan nasional lemah, maka pertumbuhan kawasan Asia Timur dan Pasifik bisa saja melambat hingga 4 persen.
Aaditya menjelaskan penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi Asia Timur dan Pasifik sejalan dengan prediksi ekonomi China yang melambat tahun ini.
Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi China dari 5,4 persen menjadi hanya 5 persen tahun ini.
China sendiri berkontribusi hingga 86 persen untuk ekonomi kawasan Asia Timur dan Pasifik. Dengan demikian, perkembangan ekonomi di Negeri Tirai Bambu itu sangat menentukan situasi di kawasan Asia Timur dan Pasifik.
(tdh/aud)