Presiden Joko Widodo (Jokowi) berulang kali menegaskan jajaran menteri untuk memiliki sense of crisis terhadap kesulitan rakyat. Ia tidak ingin pemerintahannya dianggap tidak bekerja atau tidak melakukan apa-apa oleh masyarakat di tengah kenaikan harga-harga.
Salah satu contoh, ketika harga BBM Pertamax naik. Menurut Jokowi, Menteri ESDM Arifin Tasrif seharusnya memberikan penjelasan ke publik terkait kenaikan harga Pertamax. "Diceritain dong. Ada empati? Enggak ada. Yang berkaitan dengan energi enggak ada. Itu yang namanya memiliki sense of crisis," ujarnya saat sidang kabinet paripurna, Selasa (6/4) lalu.
Maklum, sebelum kenaikan harga Pertamax, masyarakat sudah gaduh karena lonjakan harga minyak goreng, baik minyak goreng curah maupun minyak goreng kemasan. Belum lagi, harga bahan pangan. Kini, pemerintah kembali melempar wacana kenaikan harga Pertalite dan tarif dasar listrik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Arifin menyebut tariff adjustment pada listrik diperlukan, sehingga biaya yang dikenakan kepada konsumen mendekati biaya pokok penyediaan listrik atawa BPP. Melalui kebijakan ini, pemerintah disebut dapat menghemat kompensasi APBN sebesar Rp7 triliun hingga Rp16 triliun.
Jika benar harga BBM Pertalite dan tarif listrik segera naik, bukan tidak mungkin masyarakat akan semakin tercekik harga-harga. Jangan lupa, pemerintah juga baru menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) jadi 11 persen, yang sedikit banyak membuat masyarakat bakal merogoh kocek sedikit lebih dalam membayar barang dan jasa.
Memang, Ekonom Indef Abra Talattov mengakui menaikkan tarif listrik dan harga Pertalite mungkin bisa mengurangi beban APBN. Namun di sisi lain tentu menambah beban masyarakat. Jika beban masyarakat semakin berat, justru akan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Khawatirnya, biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk mendongkrak ekonomi ini malah akan lebih besar.
"Saya pikir kalau (menghemat) kompensasi sebesar Rp7 triliun-Rp16 triliun tetapi yang harus dikorbankan adalah daya beli masyarakat, justru ekonomi akan melambat,cost-nya akan lebih besar dibanding proyeksi penghematan dari APBN," imbuhnya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (13/4).
Lihat Juga : |
Sebab, kenaikan tarif listrik dan harga Pertalite akan mengerek biaya produksi. Dari sisi konsumsi, ancamannya inflasi. Jelas, harga barang-barang yang menggunakan konsumsi listrik dan Pertalite, tentu akan meningkat.
"Ini menunjukkan bahwa pemerintah kontradiktif dengan arahan Pak Jokowi yang mengatakan dalam keadaan krisis seharusnya menteri-menteri mempunyai sense of crisis terhadap masyarakat," kata Abra.
Bahkan, ia menyebut kebijakan pembantu presiden ini malah menantang apa yang diucapkan Jokowi beberapa waktu lalu di Istana itu. Ketika presiden ingin menteri-menterinya bisa memberikan suasana tenang pada masyarakat dan memberikan solusi atas krisis.
Oleh karena itu, Abra menyarankan sebaiknya rencana menaikkan tarif listrik dan harga Pertalite ditunda dulu sampai situasi ekonomi yang terancam oleh inflasi akibat kenaikan harga komoditas mereda.
Saat ini, beberapa negara di dunia seperti Amerika Serikat (AS), Turki, Inggris, Sri Lanka hingga Pakistan tengah menghadapi inflasi. Ancaman inflasi untuk Indonesia pun di depan mata.
Dalam keadaan seperti ini, semestinya pemerintah lebih dulu memikirkan bagaimana APBN itu digunakan sebagai penyelamat, dan menjadi manuver untuk menjaga daya beli masyarakat.
Ia mencontohkan selama pandemi sedang ganas-ganasnya menghantam negeri pada 2020 saja, pemerintah bisa menambah defisit APBN untuk pemulihan pandemi.
Saat itu, muncul Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 yang kemudian disempurnakan melalui Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
Salah satu ketentuan yang diatur dalam UU tersebut adalah kewenangan pemerintah dalam menetapkan batasan defisit anggaran melampaui 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan covid-19 berlangsung.
"Mengapa dalam hal ancaman inflasi, pemerintah tidak mau berkorban? Jadi saya pikir pemerintah masih ada ruang untuk memprioritaskan menjaga daya beli masyarakat," kata Abra.
Ia mengingatkan pemerintah juga perlu berkaca pada situasi negara lain, yang saat ini sedang menghadapi inflasi tinggi. Di Sri Lanka misalnya, di negara yang letaknya tidak begitu jauh dari Indonesia itu terjadi krisis politik karena inflasi yang tak terkendali.
"Jangan sampai pemerintah abai terhadap risiko terjadinya gejolak sosial politik atau menutup mata terhadap risiko kenaikan inflasi yang tinggi," jelasnya.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan jika hanya untuk hemat Rp7 tiliun-16 triliun dana kompensasi APBN, maka tak perlu ada kenaikan tarif listrik khususnya untuk golongan rumah tangga.
Menurut Bhima, dana dari penerimaan batu bara dan sawit saja sudah cukup untuk menambal kekurangan itu. Belum lagi, dana penghematan dari penundaan proyek strategis nasional idealnya bisa menahan kenaikan tarif listrik sepanjang tahun.
"Hasil kenaikan PPN 11 persen bisa direalokasikan ke tarif listrik. Intinya banyak cara bisa dilakukan cegah tarif listrik naik," jelasnya.
Selain itu, pemerintah juga sudah berencana mengeluarkan kebijakan DMO batu bara 30 persen, yang jauh di atas kecukupan batu bara untuk pasokan PLN. "Tidak urgent ya tarif listrik naik. Seharusnya pemerintah timbul sense of crisis-nya untuk cegah penyesuaian tarif listrik," tandasnya.