Hampir 30 negara berpotensi gagal bayar utang mengikuti jejak Rusia dan Sri Lanka. Dampak perang Rusia-Ukraina pada pasar global dan pandemi yang masih merajalela menjadi pemicunya.
ONE, sebuah organisasi yang peduli dengan upaya pengentasan kemiskinan global, memperkirakan yang berpotensi terseret gagal bayar utang mengikuti Rusia dan Sri Langka adalah 23 negara termiskin di benua Afrika. Saat ini, 59 persen negara Afrika yang dinilai bangkrut atau berisiko tinggi mengalami kesulitan membayar utang.
ONE menyebut jika prediksi itu benar, sekitar 20 juta orang beresiko masuk kategori kemiskinan ekstrim jika 16 negara paling berisiko Afrika jatuh ke dalam gagal bayar utang. Utang sejumlah negara di Afrika yang jatuh tempo di 2022 sebesar US$64 juta. Sebenarnya sejumlah inisiatif dilakukan untuk mengatasi utang Afrika.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satunya, Inisiatif Penangguhan Layanan Utang G20 (DSSI). Inisiatif itu sempat membantu meringankan beban utang pada negara-negara miskin di Afrika.
Tapi, sejak Desember 2021 lalu, inisiatif itu berhenti. Sebenarnya, ada program pengganti DSSI yang bernama Kerangka Kerja Umum G20 untuk Penanganan Utang.
Tapi program itu dinilai gagal menawarkan solusi untuk mengatasi utang tiga negara termiskin di Afrika, yakni Chad, Zambia dan Ethiopia karena kenaikan pinjaman yang terjadi saat ini.
Sementara itu, melansir Dana Moneter Internasional (IMF), Senin (18/4), pinjaman negara melonjak 28 persen menjadi 256 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2020. Sektor pemerintahan menyumbang sekitar setengah dari peningkatan ini, dengan sisanya dari perusahaan non-keuangan dan rumah tangga.
Utang publik sekarang mewakili hampir 40 persen dari total global, terbesar dalam enam dekade terakhir.
Invasi Rusia terhadap Ukraina yang tak kunjung selesai mengakibatkan kenaikan harga listrik dan pangan. Hal ini membuat negara miskin semakin terpuruk.
"Untuk negara-negara berpenghasilan rendah yang bergantung pada bahan bakar dan makanan impor, guncangan tersebut mungkin memerlukan lebih banyak hibah dan pembiayaan yang sangat lunak untuk memenuhi kebutuhan sambil mendukung rumah tangga yang membutuhkan," ujar IMF dalam laporan terbaru.
Hal ini yang terjadi pada Sri Lanka, negara yang sebelum perang Rusia sudah kesulitan membayar hutang, kini kondisi menjadi semakin parah akibat kenaikan harga ditambah dampak pandemi pada sektor pariwisata.
Lihat Juga : |
Dengan berakhirnya program DSSI dan semakin banyak negara yang berisiko gagal bayar utang, IMF mengatakan restrukturisasi utang kemungkinan akan lebih sering terjadi dan diperlukan koordinasi yang lebih kompleks antarnegara karena meningkatnya keragaman dalam lanskap kreditur.
"Memiliki mekanisme untuk restrukturisasi yang tertib adalah demi kepentingan terbaik kreditur dan debitur," ujar IMF.
(tdh/agt)