Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Anton J Supit tak menafikan hak pekerja mendapatkan THR. Namun, ia berharap tidak semua pengusaha dipukul rata. Sebab, masih banyak perusahaan yang terseok-seok. Bahkan, membayar gaji saja masih cicil, apalagi THR.
Pun demikian, ia setuju sanksi dijatuhkan terhadap perusahaan mampu yang bandel tak mau bayar THR. Tapi, untuk mereka yang memang babak belur, ia minta sanksi tak disamaratakan.
"Kalau betul-betul dia kesulitan, betul-betul pemerintah juga cari jalan keluar. Kalau sudah kesulitan, jangankan THR, gaji pun dicicil," terang dia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dosen Hukum Perburuhan Fak Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) sekaligus Ketua Umum Perhimpunan Pengajar dan Praktisi Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (P3HKI) Agusmidah menduga peningkatan pengaduan atau laporan THR disebabkan ata yang tidak akurat.
Ia mengatakan kasus ketidaktaatan pembayaran THR di lapangan memang tinggi, hanya saja tak tercatat pada tahun-tahun sebelumnya lantaran terbatasnya akses aduan. Kini, saat pintu aduan online dan fisik dibuka, angkanya seakan melonjak.
Selain itu, lanjut dia, pemerintah memberikan keringanan kepada pengusaha tahun lalu, sehingga tunggakan THR tidak dianggap sebagai pelanggaran. Berbeda halnya dengan tahun ini yang wajib dibayarkan.
"Sekarang karena ada posko resmi jadi data terinput, kalau besarnya tiap tahun (kasus jumlahnya) besar itu," imbuhnya.
Dari kacamata Agusmidah, ketidaktaatan pembayaran THR cenderung disebabkan oleh rendahnya kesadaran hukum pengusaha. "Ketidaksiapan mengelola pembayaran non upah ini mengakibatkan tingginya angka aduan pada posko THR," jelasnya.
Dia mengingatkan bahwa tunggakan THR harus punya dasar. Misal, ketidakmampuan pengusaha secara finansial yang harus dibuktikan lewat data keuangan yang disahkan oleh lembaga akuntan pabrik yang netral.
Agusmidah berpendapat bila semua perusahaan menghimpun keuangan perusahaan dan ternyata hasilnya menunjukkan bahwa tahun ini pembayaran THR tidak dapat mengikuti aturan yang ada, maka perlu dilakukan kajian ulang aturan dan segala sanksinya, menyesuaikan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atau Peraturan Pemerintah (PP).
"Hanya saja jika ini terjadi, maka kemungkinan besar para pekerja semakin jauh untuk mencapai kesejahteraan finansial. Apalagi, jika perusahaan menempatkan bekerja sebagai bagian dari ongkos produksi bukan sebagai mitra," ucapnya.
Ia menambahkan pentingnya membayarkan THR yang akan memperkuat daya beli masyarakat dan memutar roda ekonomi nasional. Ingat, berdasarkan kajian Ombudsman, THR punya potensi daya ungkit ekonomi sekitar Rp194 triliun secara total, dari karyawan swasta mau pun PNS.
(bir)