Ekonom Senior Faisal Basri menyindir neraca perdagangan pangan RI yang rentan dan selalu defisit sejak 2010 silam.
Ia menyayangkan hal tersebut. Sebab, ia menilai bila perdagangan pangan RI surplus, maka ketahanan ekonomi dan sosial Indonesia bisa lebih tangguh.
"Seandainya perdagangan pangan kita surplus (ekspor lebih besar dari impor), ketahanan ekonomi dan sosial akan lebih tangguh," terang dia di akun Twitternya @FaisalBasri, Jumat (29/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari data yang ia tampilkan, tampak transaksi perdagangan pangan Indonesia defisit US$1,4 miliar pada 2010 lalu. Data melansir Badan Pusat Statistik (BPS).
Kemudian, pada 2011 defisit kian parah menjadi US$4,2 miliar. Sedangkan pada 2012 defisit membaik menjadi US$2,6 miliar.
Sementara pada 2013 defisit kembali naik menjadi US$2,9 miliar. Namun, membaik lagi pada 2014 menjadi US$2,5 miliar.
Lalu, pada 2015 defisit RI tercatat US$600 juta dan dilanjutkan menjadi US$2,1 miliar pada 2016.
Lebih lanjut, defisit tercatat US$1,9 miliar pada 2017 dan membengkak menjadi US$3,3 miliar pada tahun berikutnya.
Masih saja defisit, neraca pangan RI menjadi minus US$2,3 miliar pada 2019. Lalu, di era covid-19 atau pada 2020 defisit tercatat membaik menjadi US$900 juta. Sedangkan, tahun lalu defisit kembali memburuk menjadi US$2,6 miliar.
Pada keadaan riilnya, berbagai pangan yang dikonsumsi masyarakat Indonesia memang masih diimpor, misalnya bawang merah, bawang putih, daging sapi dan kerbau, kedelai, dan lainnya.