Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) meminta pemerintah melakukan enam hal untuk menyelesaikan masalah minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) di tengah lonjakan harga minyak goreng di dalam negeri.
Pertama, Ketua Umum SPI Henry Saragih mengatakan larangan ekspor CPO bisa dijadikan momentum bagi pemerintah untuk merombak sistem perkebunan sawit yang ada.
Ia mengatakan terdapat tiga aspek yang harus dilihat dalam menghadapi masalah perkebunan sawit di Indonesia, yakni reforma agraria yang belum dijalankan, perkebunan sawit yang menerapkan sistem pertanian monokultural berdampak pada lingkungan hidup, dan ketergantungan petani sawit kepada korporasi sangat tinggi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
"Petani sawit belum mempunyai pabrik pengolahan kelapa sawit, seperti industri pengolahan menjadi CPO hingga minyak goreng. Hulu hilir kelapa sawit hanya dikuasai segelintir orang kuat," ungkap Henry dalam keterangan resmi yang dirilis Kamis (12/5).
Kedua, pemerintah harus mengawasi dan mengambil tindakan hukum yang tegas kepada pabrik kelapa sawit atau perusahaan dari tingkat trader, grower, hingga produsen yang ikut andil dalam menentukan harga Tandan Buah Segar (TBS) secara sepihak.
Ketiga, Henry mengingatkan pemerintah jangan kalah dengan pengusaha sawit terkait harga TBS. Pasalnya, ia menduga penetapan harga TBS kelapa sawit tak lagi merujuk pada situasi internasional, tapi nasional.
Ia mengatakan harga TBS kelapa sawit di Provinsi Riau turun sebesar Rp972 per kg menjadi Rp2.947 per kg untuk sawit umur 10-20 tahun di Provinsi Riau.
Padahal sebelumya, harga TBS kelapa sawit umur 10-20 tahun ditetapkan Rp3.919 per kg di Provinsi Riau.
"Penurunan harga TBS kelapa sawit di tingkat petani menjadi tanda tanya besar, dasar atau rumus apa yang digunakan untuk menetapkan harga TBS. Apakah harga CPO atau kernel turun drastis? Karena jika dibandingkan dengan Malaysia, harga TBS di sana tidak turun, masih dihargai sekitar Rp5.000 per kg," papar Henry.
Keempat, pemerintah harus segera mengawasi dan memberikan kebijakan yang tepat untuk melindungi petani sawit dari harga input produksi yang tinggi pada petani, seperti pupuk, pestisida, dan herbisida yang setiap hari naik drastis.
Kelima, Henry mengatakan pemerintah bisa menjadikan momentum larangan ekspor CPO ini untuk memperbaiki struktur pasar oligopoli di industri hulu perkebunan sawit dan struktur monopoli di sektor hilir.
"Ini telah menyingkirkan petani sawit sebagai pelaku rantai pasok serta menyingkirkan petani atas tanah karena penguasaan tanah yang timpang sebagai dampak perluasan lahan yang melebihi ketentuan yang berlaku," jelas Henry.
Keenam, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus mempercepat perbaikan tata kelola perkebunan sawit rakyat dan revitalisasi kelembagaan petani.
"Hal ini agar melibatkan petani swadaya sebagai pelaku rantai pasok CPO maupun biodiesel," ucap Henry.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melarang ekspor CPO sejak 28 April 2022. Larangan ini akan berlaku hingga harga minyak goreng curah turun sesuai HET menjadi Rp14 ribu per liter atau Rp15.500 per kg.
(aud/bir)