Padahal, menurut Ahmad, banyak jalan keluar lain yang bisa diambil ketimbang menutup keran ekspor CPO. Misalnya, pemerintah bisa memanfaatkan momentum kenaikan harga CPO untuk mengenakan pajak ekspor yang lebih tinggi.
Hasil pungutan pajak kemudian bisa disulap jadi subsidi untuk membeli minyak goreng dari produsen dan kemudian mendistribusikannya ke pasar. Perhitungan Ahmad, pemerintah bisa mengantongi triliunan rupiah dari pungutan pajak ekspor CPO ini.
Nilainya sama, tetapi bukan dengan mengorbankan petani yang menyebabkan kerugian triliunan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi subsidi bahan baku minyak gorengnya agar pabrik bisa produksi karena mendapat bahan baku dengan harga murah, sehingga harga minyak goreng juga terjangkau," jelasnya.
Mekanisme subsidi ini bisa dilakukan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang saat ini juga menjalankan pengelolaan subsidi untuk biodiesel. Menurut hitung-hitungannya, skema subsidi ini bisa membuat harga minyak goreng turun sekitar Rp3.000 sampai Rp5.000 per liter di ritel.
"Jadi berasa ke masyarakat, lebih murah dan kelihatan berapa subsidinya," ucapnya.
Solusi lain adalah menerapkan kebijakan pemenuhan kebutuhan pasar domestik (DMO) secara ketat. Misalnya, 20 persen bahan baku minyak goreng mesti masuk industri pengolahan Tanah Air.
"Kalau perlu perkuat dinas untuk pantau pabrik-pabrik agar ketahuan berapa yang diekspor dan berapa yang ke pasar dalam negeri," imbuhnya.
Setali tiga uang, Bhima juga menyarankan kebijakan subsidi ketimbang melarang ekspor. Tapi, berbeda dengan Ahmad yang menyarankan subsidi dilakukan oleh BPDPKS, menurut Bhima, subsidi bisa diberikan ke Perum Bulog.
"Bulog bisa diberi kewenangan untuk distribusi minyak goreng, misal 60 persen dari total distribusi nasional. Tapi Bulog diberi subsidi untuk beli minyak goreng dari produsen, kemudian Bulog salurkan dengan sistem yang benar, yaitu minyak goreng kemasan karena ada barcodenya, ada kode produksinya, pengawasan pun jadi lebih mudah untuk cegah kebocoran," terang Bhima.
Tapi memang, opsi ini perlu modal tambahan. Pasalnya, Bulog perlu arus kas untuk menalangi pembelian minyak goreng. Selain itu, perlu kapasitas gudang yang lebih besar untuk menampung stok.
"Ini bisa lebih transparan, lalu Bulog distribusikan dengan operasi pasar. Jadi tidak ada spekulasi," ujarnya.
Sementara Faisal menilai pemberian subsidi bisa juga menyasar langsung ke masyarakat dengan skema kupon bantuan sosial (bansos). Dengan begitu, minyak goreng subsidi benar-benar tepat menyasar mereka yang daya belinya rendah.
"Langkah-langkah di sisi hilir perlu untuk memastikan minyak goreng bisa dijangkau dan diterima masyarakat kelas bawah, targeted," tutup Faisal.