Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menambahkan pencabutan larangan ekspor CPO adalah bukti bahwa pengendalian harga minyak goreng melalui kebijakan tersebut adalah kesalahan fatal.
Ia mengatakan hingga saat ini harga minyak goreng khususnya kemasan di level masyarakat masih tinggi. Di sisi lain petani sawit dirugikan dengan harga TBS yang anjlok karena over supply CPO di dalam negeri.
Belum lagi, hilangnya penerimaan negara lebih dari Rp6 triliun dan tekanan pada sektor logistik perkapalan yang berkaitan dengan aktivitas ekspor CPO.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
"Kehilangan devisa sudah terlanjur cukup tinggi imbas pelarangan ekspor CPO yang mempengaruhi stabilitas sektor keuangan. Pelemahan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat di pasar spot sebesar 3 persen dalam sebulan terakhir salah satunya disumbang dari pelarangan ekspor," kata Bhima.
Kendati larangan ekspor CPO dicabut, harga minyak goreng belum tentu turun dan pasokan akan melimpah.
"Tanpa adanya perbaikan distribusi maka harga minyak goreng masih akan tinggi dan faktor pengusaha akan gunakan acuan pasar untuk menentukan harga minyak goreng khususnya minyak goreng kemasan,"lanjutnya.
Menurut Bhima, usai ekspor CPO dibuka kembali, pemerintah perlu fokus pada pengendalian harga minyak goreng. Menurutnya ada tiga solusi yang bisa dilakukan pemerintah setelah keran ekspor dibuka kembali.
Lihat Juga : |
Pertama, pemerintah perlu menugaskan dan memberi kewenangan pada Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk mengambil alih setidaknya 40 persen dari total distribusi minyak goreng. Menurutnya, selama ini mekanisme pasar gagal mengatur margin yang dinikmati para distributor minyak goreng.
"Bulog nantinya membeli dari produsen minyak goreng dengan harga wajar dan melakukan operasi pasar atau menjual sampai ke pasar tradisional," katanya.
Kedua, pemerintah menghapus kebijakan subsidi ke minyak goreng curah dan mengganti dengan minyak goreng kemasan sederhana. "Pengawasan minyak goreng kemasan jauh lebih mudah dibanding curah," lanjutnya.
Ketiga, jika masalahnya adalah sisi pasokan bahan baku di dalam negeri, maka program biodiesel harus mengalah. Target biodiesel harus segera direvisi dari target 10 juta kilo liter menjadi 7 juta kilo liter, dan fokus dalam memenuhi kebutuhan minyak goreng.
"Tentu 3 kebijakan ini butuh penyegaran pejabat pelaksana, salah satunya melalui reshuffle menteri yang selama ini gagal menyelesaikan masalah minyak goreng."
Sebelumnya Presiden Jokowi memutuskan untuk melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mulai Kamis (28/4). Hal itu ia putuskan dalam rapat bersama menterinya. Keputusan itu dilakukan setelah harga minyak goreng melonjak beberapa bulan belakangan ini.
Ini adalah kebijakan ekstrem yang dianggap ampuh oleh pemerintah dalam mengatasi lonjakan harga minyak goreng. Sebab, pemerintah sudah bolak-balik berupaya mengatasi lonjakan dan kelangkaan komoditas tersebut.
Pertama, meluncurkan minyak goreng kemasan sederhana Rp14 ribu per liter di ritel dan pasar tradisional secara bertahap pada Januari-Juni 2022. Total minyak goreng yang digelontorkan 2,4 miliar liter.
Untuk menyediakan minyak goreng ini pemerintah menggelontorkan subsidi Rp7,6 triliun yang diambilkan dari dana perkebunan kelapa sawit.
Kedua, menerapkan kewajiban bagi produsen memasok minyak goreng di dalam negeri (DMO) sebesar 20 persen dari total volume ekspor mereka dengan harga domestik (DPO) mulai 27 Januari lalu.
Dengan kebijakan itu harga eceran tertinggi ditetapkan menjadi tiga yaitu minyak goreng curah Rp11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500 per liter, minyak goreng kemasan Rp14 ribu per liter. Harga mulai berlaku 1 Februari 2022.
Namun kebijakan itu rupanya tidak efektif dan malah menimbulkan masalah baru, yaitu kelangkaan pasokan minyak goreng.
Ketiga, pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan baru yaitu mencabut harga eceran tertinggi minyak goreng premium dan menyerahkan harganya ke mekanisme pasar dan menaikkan harga eceran tertinggi minyak goreng curah jadi Rp14 ribu per liter.
Setelah kebijakan itu dikeluarkan, harga minyak goreng kemasan melesat jadi sekitar Rp25 ribu per liter. Pun begitu dengan minyak goreng curah yang harganya masih di atas HET.