Peneliti Transnational Institute Rachmi Hertanti mengatakan Presidensi G20 harus membahas dampak dari dominasi Amerika Serikat (AS) dan China terhadap ekonomi negara berkembang.
"Dalam konteks kepentingan negara berkembang, seharusnya G20 di bawah presidensi Indonesia bisa digunakan untuk membahas mengenai dampak yang dirasakan oleh negara berkembang, khususnya di Asia dari pertarungan dominasi AS-China ini," ungkap Rachmi, dikutip Antara, Senin (30/5).
Menurut dia, hal ini perlu dibahas karena negara berkembang sangat bergantung dengan investasi dari AS dan China.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rachmi mencontohkan agenda Indo-Pasifik ASEAN sebenarnya bisa menjadi katalisator dari konflik yang ada, di mana ASEAN berpotensi menjadi penentu permainan.
"Tapi tentu syaratnya harus kompak. Ini yang sulit karena ASEAN sendiri terpecah-pecah khususnya ketika menyikapi konflik laut China Selatan," ujar Rachmi.
Indonesia, kata dia, harus bisa memimpin pembahasan aturan multilateral, khususnya terkait fleksibilitas dan perlakuan khusus yang dibutuhkan bagi negara berkembang dan kurang berkembang.
"Termasuk, bagaimana Indonesia dapat memimpin pembahasan mengenai penolakan terhadap tindakan unilateral perdagangan dari beberapa negara maju yang pada akhirnya menghambat akses pasar negara berkembang dan berdampak pada berbagai tindakan diskriminasi," jelas Rachmi.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan M Lutfi mengatakan perjanjian perdagangan berupa Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) bisa menjadi solusi bagi perekonomian dunia yang sedang dilanda inflasi tinggi.
Menurut Lutfi, salah satu penyebab inflasi adalah hambatan perdagangan dunia yang disebabkan proteksionisme, perang dagang, serta Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang tak berfungsi sebagaimana mestinya.
"Ketika negara-negara yang sudah maju menerapkan standar ganda, WTO justru tidak berkutik," ucap Lutfi.
Sementara, ia menilai lonjakan harga komoditas di dunia saat ini adalah peluang bagi para petani di negara-negara berkembang besar seperti Indonesia, India, Brazil, dan China untuk menikmati keuntungan lebih. Hal itu dinilai sebagai ekuilibrium baru dalam perdagangan komoditas pangan dunia.
"Jangan dirusak dengan menyalahkan salah satu negara misalnya China karena posisi dagang yang kurang menguntungkan. Bahaya kalau beberapa negara maju berkelompok untuk membenarkan standar ganda," ujar Lutfi.
Hal yang dimaksud standar ganda oleh Lutfi adalah negara-negara yang sudah maju menyalahkan dan mengganggu perdagangan bebas dunia, ketika mereka kurang diuntungkan posisi dagangnya terhadap suatu negara tertentu, misalnya China.
(aud/bir/bir)