KOLOM

Depopulasi Sapi Cegah PMK

Bhima Yudhistira Adhinegara | CNN Indonesia
Jumat, 17 Jun 2022 17:04 WIB
Per-12 Juni, wabah PMK telah menyerang 140.315 hewan di 190 kabupaten dan kota di 18 provinsi. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Sejak datangnya wabah Penyakit Mulut Kuku (PMK) yang menyerang hewan ternak beberapa pekan terakhir, berbagai upaya tengah dilakukan pemerintah. Berkejaran dengan waktu, melonjaknya kerugian yang dialami ekosistem hewan ternak perlu segera diantisipasi.

Data yang bersumber dari Kementerian Pertanian per-12 Juni mengungkapkan wabah PMK telah menyerang 140.315 hewan di 190 kabupaten dan kota di 18 provinsi.

Pemerintah sendiri menyatakan kerugian dari wabah PMK pada hewan ternak menembus Rp254,4 miliar versi Ombudsman. Sementara versi Kementerian Pertanian kerugian di estimasi Rp9,9 triliun per tahunnya.

Terlepas perbedaan cara penghitungan kerugian, angka tersebut merupakan sinyal bahwa masalah PMK adalah wabah yang menjadi ancaman pemulihan ekonomi.

Dampak ekonomi dari PMK nyatanya semakin liar. Bukan hanya peternak yang alami kerugian, atau konsumen yang terganggu psikologis-nya saat ingin mengonsumsi daging sapi, beberapa negara pun menghentikan sementara impor hewan ternak hidup dari Indonesia.

Artinya, jumlah kerugian bukan sekedar jumlah sapi yang mati dikalikan dengan harga sapi rata-rata. Namun, hilangnya devisa, pengaruh ke neraca dagang dan kepercayaan terhadap produk hasil ternak dari Indonesia.

Efek jangka panjangnya, jika masalah PMK ini tidak segera dibenahi, maka butuh waktu lama untuk mengembalikan kepercayaan konsumen ternak baik di dalam maupun luar negeri.

Sejauh ini berdasarkan keunggulan komparatif (RCA) Bank Dunia, posisi Indonesia cukup bersaing dalam hal ekspor hewan ternak yakni dengan angka 4,24. Vietnam yang digadang-gadang menjadi pesaing paling gesit di kawasan Asean, hanya memiliki RCA sebesar 1,93 untuk produk peternakan.

Kita boleh tertinggal dari persaingan merebut relokasi pabrik otomotif, dan elektronik dari Vietnam. Namun berkaitan dengan dairy product, Indonesia masih juara. Pemerintah perlu memahami betapa pentingnya sektor peternakan dalam membangkitkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sekaligus berkualitas.

Langkah Darurat Depopulasi

Tidak ada satu cara paling efektif untuk mengatasi PMK. Bauran kebijakan tentu penting, dan setiap kebijakan memiliki risiko tersendiri. Namun, kasus penanganan PMK di negara lain bisa menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah.

Salah satunya adalah depopulasi hewan ternak. Kebijakan depopulasi diambil untuk mencegah penularan dengan cara darurat pemusnahan hewan ternak yang terkonfirmasi sakit atau berisiko menyebarkan PMK ke lingkungan sekitar.

Jepang dan Inggris merupakan dua negara yang melakukan langkah darurat depopulasi hewan ternak. Tahun 2010 prefektur Miyazaki di Jepang mengalami kejadian PMK dan Pemerintah Jepang mengambil langkah depopulasi sapi yang tertular bersamaan dengan vaksinasi. Sebanyak 290 ribu hewan ternak mati di Jepang, tapi keberanian langkah Pemerintah Jepang berhasil membawa peternakan sapi lepas dari wabah PMK. Kasus yang hampir sama terjadi di Inggris pada tahun 2001 ketika Pemerintah melakukan upaya eradikasi sebanyak 6 juta ternak yang terdiri dari sapi dan domba.

Upaya melakukan depopulasi bukan tanpa biaya, tapi berbagai studi meneguhkan langkah depopulasi menekan tingkat risiko yang lebih mematikan bagi seluruh ekosistem peternakan.

Pertanyaan berikutnya tentu kompensasi kepada peternak perlu dihitung. Secara sederhana jika asumsi hewan yang tertular PMK mencapai 140 ribu ternak di Indonesia dan rata-rata ternak sapi dihargai Rp15 juta per ekor sebagai kompensasi, setidaknya butuh anggaran Rp2,1 triliun.

Darimana uangnya? Rp2,1 triliun bisa diambil dari realokasi belanja rutin Pemerintah pusat, anggaran stimulus PEN yang tidak terserap, hingga diambil dari belanja yang belum prioritas seperti beberapa proyek infrastruktur.

Jika anggaran infrastruktur mencapai Rp365,8 T maka porsi kebutuhan untuk depopulasi PMK hanya sebesar 0,6%-nya.

Tinjau Ulang Regulasi Impor Pangan

Selain depopulasi hewan ternak yang terimbas PMK, terdapat beberapa saran yang bisa dilakukan. Pertama, melakukan tinjau ulang regulasi impor pangan di dalam UU Cipta Kerja, yang ditengarai memicu lonjakan impor pangan. 

Sejak awal pembahasan draft RUU Cipta Kerja, terdapat kemunculan perubahan klausul 'impor pangan bukan lagi dalam keadaan mendesak untuk mencukupi kebutuhan pangan di dalam negeri'.

Impor pangan saat ini disamakan derajatnya dengan produksi di dalam negeri. Karena payung hukum berbentuk undang-undang, meski sudah diputus inkonstusional bersyarat oleh MK, pada praktiknya UU Cipta Kerja menjadi dorongan bagi maraknya impor sapi.

Kedua, menghentikan impor sapi, bukan saja dari India, tapi juga dari negara yang diduga asal dari penyebaran PMK. Perlu standar yang lebih ketat di Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian sebelum memberikan rekomendasi atau izin impor hewan ternak.

Negara yang belum bebas PMK harus benar-benar ditinggalkan sebagai opsi impor, meski argumentasi biaya impor jauh lebih murah.

Ketiga, mempercepat vaksinasi pada hewan ternak. Kebutuhan vaksinasi perlu diprioritaskan dan upaya Pemerintah dalam melakukan vaksinasi sudah tepat. Dosis I vaksin direncanakan 800 ribu dosis dan berikutnya 2,2 juta dosis.

Keempat, memberikan insentif tambahan kepada dokter hewan dan mantri yang berada di garda terdepan dalam langkah penanganan wabah PMK.

Rasio antara dokter hewan dan mantri dibanding populasi hewan ternak tentu tidak sebanding. Sama halnya dengan puncak pandemi Covid-19, tenaga kesehatan berjuang extra dan perlu adanya tambahan insentif agar semangat percepatan penanganan wabah bisa cepat selesai.

(vws)
PROFILE

Bhima Yudhistira Adhinegara

Alumni Universitas Gadjah Mada dan memperoleh gelar master dari Universitas Bradford, Inggris. Saat ini menjabat sebagai Direktur Center of Economic and Law Studies, lembaga think tank yang berbasis di Jakarta.

Selengkapnya