Sementara itu, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan yang dibutuhkan oleh masyarakat dari menteri perdagangan baru sebenarnya adalah kebijakan teknis, bukan sekadar janji.
Menurutnya, publik harus tahu apa gebrakan dari Zulhas untuk menyelesaikan masalah minyak goreng ini. Apakah DMO CPO nya mau diubah, atau pengawasan izin ekspor diperketat.
"Kemudian, apakah Bulog mau dilibatkan ambil alih distribusi minyak goreng curah minimal 80 persen? atau ada rencana kebijakan lain?" kata Bhima.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menambahkan masyarakat juga belum mendengar langkah pemerintah untuk mengatur bisnis pelaku usaha sawit yang terintegrasi dari hulu ke hilir sehingga permainan harga sulit diatur.
"Kalau hanya berputar-putar soal aplikasi minyak goreng, dan sidak ke pasar namanya itu status quo," sambungnya.
Bhima menekankan saat ini harga minyak goreng masih tinggi, baik yang curah maupun kemasan. Harga minyak melesat sejak Agustus 2021 lalu dari yang awalnya hanya Rp14 ribu per liter menjadi Rp20 ribu.
Jika melihat ke belakang, sebenarnya pemerintah sudah mengeluarkan banyak kebijakan untuk mengatasi lonjakan harga minyak goreng.
Pertama, meluncurkan minyak goreng kemasan sederhana Rp14 ribu per liter di ritel dan pasar tradisional secara bertahap pada Januari-Juni 2022. Total minyak goreng yang digelontorkan 2,4 miliar liter.
Untuk menyediakan minyak goreng ini pemerintah menggelontorkan subsidi Rp7,6 triliun yang diambilkan dari dana perkebunan kelapa sawit.
Kedua, menerapkan kewajiban bagi produsen untuk memenuhi DMO sebesar 20 persen dari total volume ekspor mereka dengan DPO mulai 27 Januari lalu. Dengan kebijakan itu harga eceran tertinggi ditetapkan menjadi tiga.
Yaitu; minyak goreng curah Rp11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500 per liter, minyak goreng kemasan Rp14 ribu per liter. Harga mulai berlaku 1 Februari 2022.
Meskipun pemerintah sudah jungkir balik mengendalikan harga minyak goreng, yang terjadi malah sebaliknya; muncul masalah baru. Untuk kebijakan satu harga Rp14 ribu, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurwan menyebut kebijakan itu membuat masyarakat menyerbu minyak goreng di ritel.
Akibatnya, minyak goreng jadi langka di pasaran. Pun begitu dengan kebijakan DMO dan DPO.
Karena tak efektif, pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan baru; mencabut harga eceran tertinggi minyak goreng premium dan menyerahkan harganya ke mekanisme pasar dan menaikkan harga eceran tertinggi minyak goreng curah jadi Rp14 ribu per liter.
Setelah kebijakan itu dikeluarkan, harga minyak goreng kemasan melesat jadi sekitar Rp25 ribu per liter. Pun begitu dengan minyak goreng curah. Meski HET sudah ditetapkan Rp14 ribu per kg, sampai saat ini harga minyak goreng curah masih di atas Rp18 ribu per liter.
Dengan fakta tersebut, Bhima menilai permasalah ini sudah darurat. "Kondisi minyak goreng sudah darurat, harus ada kebijakan yang tepat," imbuhnya.
Untuk itu, ia menekankan Zulhas perlu memperjelas kebijakan apa yang akan ia ambil, bukan sekadar memberikan janji. Menurutnya, waktu satu bulan tidak akan cukup.
Namun, sambung Bhima, di 100 hari pertama kerja sebagai menteri, idealnya Zulhas harus bisa menurunkan harga minyak goreng.
"Tidak perlu ke HET secara drastis. Bisa turun ke Rp15.500 hingga Rp16 ribu saja sudah bagus untuk minyak goreng curah," tandasnya.
(mrh/agt)