Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani buka suara terkait vonis bebas terhadap Ambika MA Shan, majikan Adelina Lisao Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal NTT di Malaysia, atas pembunuhan yang dilakukannya.
"Ini pukulan telah bagi keadilan yang selama ini dituntut Indonesia. Kami protes keras atas putusan itu, tidak hanya kami tapi protes keras layak dilayangkan oleh semua pihak," kata Benny kepada CNNIndonesia.com, Senin (27/6).
Menurutnya, bukti-bukti yang mencuat dari berbagai sumber seharusnya bisa menuntut si pelaku untuk mendapatkan hukuman seberat-beratnya. Namun, hakim justru beranggapan Ambika MA Shan tidak bersalah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
"Ini menafikkan keadilan, bagi Adelina dan keluarganya. Walau pun ya proses keberangkatannya bermasalah, ada manipulasi dokumen. Terlepas dari itu, tindakannya layak diganjar dengan hukuman seberat-beratnya," katanya.
Di sisi lain, imbuhnya, adanya kasus Adelina menjadi pelajaran penting bagi Indonesia sebelum menempatkan PMI-nya di luar negeri.
Terkait dengan pengawalan proses sidang dalam kasus tersebut, Benny mengatakan ini menjadi tanggung jawab perwakilan Indonesia di Malaysia.
"Itu tanggung jawab perwakilan kita," ujarnya.
Lihat Juga : |
Sementara itu, Sekretaris Nasional Jaringan Buruh Migran Savitri Wisnuwardhani mengatakan putusan pengadilan Malaysia sangat mengecewakan.
Menurutnya, apa yang dilakukan Pemerintah Malaysia terhadap pembebasan pembunuh Adeline sangat bertentangan dengan Konsensus Asean tentang Perlindungan dan Promosi Hak-Hak Pekerja Migran Indonesia di pasal 30.
Dalam pasal itu disebutkan bahwa negara penerima akan melindungi hak asasi manusia dan memastikan perlakuan yang adil terhadap pekerja dan mencegah perlakuan tidak pantas, eksploitasi dan kekerasan kepada pekerja migran Indonesia.
Ia mengatakan Pemerintah Malaysia dan seluruh anggota ASEAN sepakat dan berkomitmen untuk melindungi pekerja migran ketika membuat konsensus tersebut.
Lihat Juga : |
"Oleh karenanya, dampak dampak dari komitmen yang telah dibuat seharusnya diterjemahkan dilaksanakan dalam melindungi pekerja migran. tindakan yang dilakukan pemerintah Malaysia ini mencoreng komitmen mereka sendiri ketika merumuskan dan menyetujui dibuatkan konsensus ini," katanya.
Savitri mendorong agar pemerintah Indonesia harus membuat langkah-langkah banding atau upaya lain untuk meminta keadilan terhadap Adeline. Apalagi, belum lama ini Indonesia dan Malaysia baru saja menandatangani memorandum of understanding (MoU) Penempatan dan Perlindungan PMI.
"Jangan sampai terjadi kasus seperti ini yang mana sangat jelas dan nyata bahwa majikan Adelina menyiksa Adelina dan justru malah dibebaskan," katanya.
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia bakal menempuh jalur perdata atas kematian TKI asal NTT Adelina Lisao di Malaysia.
Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kementerian Luar Negeri Judha Nughara mengatakan pemerintah akan tetap mengupayakan keadilan bagi mendiang Adelina, melalui jalur hukum perdata untuk tuntutan ganti rugi.
"Proses ini perlu persetujuan ahli waris karena yang menuntut adalah keluarga korban. KBRI akan beri pendampingan dan dukungan penyediaan pengacara," kata Judha dalam keterangan tertulis.
Adelina dibunuh majikannya pada 2018 silam. Kasus itu sudah selesai di pengadilan pidana di mana sang majikan divonis tidak bersalah atas tuduhan pembunuhan.
Hingga ditingkat Mahkamah Banding Malaysia, hakim beranggapan Ambika MA Shan dianggap tak bersalah.
Sidang Mahkamah Agung Malaysia (Mahkamah Persekutuan Malaysia), Kamis (23/6) lalu juga menolak permohonan banding jaksa penuntut umum untuk menggugurkan putusan Mahkamah Tinggi sehingga mengesahkan pembebasan Ambika MA Shan.