Kemnaker Akan Naikkan Manfaat Jaminan Sosial bagi Para TKI
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) akan merevisi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2018 tentang Jaminan Sosial Pekerja migran Indonesia (PMI) atau TKI. Hal ini mereka lakukan agar pekerja bisa mendapatkan jaminan sosial yang lebih baik.
"Latar belakang dari revisi Permen ini adalah bagaimana Kementerian Ketenagakerjaan berusaha untuk closing the gap terkait manfaat bagi PMI, dan juga bagaimana upaya kita untuk memberi pelayanan bagi PMI dengan tetap memperhatikan prinsip SJSN yang ada di uu," ujar Sub Koordinator Bidang Kepesertaan Jaminan Sosial Penerima Upah Kemenaker Nindya Putri pada acara paparan media bertajuk Hasil Kajian Efektivitas Penyelenggaraan Jaminan Sosial Terhadap Pekerja Migran Indonesia (PMI) Di Masa Pandemi Covid-19 di Jakarta, Selasa (28/6).
Ia mengatakan akan ada beberapa poin yang dimasukkan dalam revisi permen tersebut. Salah satunya berkaitan dengan jaminan sosial bagi pekerja migran di luar negeri.
"Mungkin sedikit saya jelaskan bahwa poin perubahan untuk Permenaker No. 18 ini terkait peningkatan manfaat, peningkatan besaran manfaat karena seperti yang kita ketahui di UU No. 18,terkait jaminan sosial bagi PMI itu tetap menggunakan sistem jaminan sosial masyarakat," jelasnya.
Selain itu, proses administrasi untuk mengklaim manfaat jaminan sosial akan dibuat lebih mudah dan efisien agar PMI tidak mengalami kendala dalam mengakses jaminan. Salah satu solusi yang ingin diterapkan oleh Kemenaker adalah integrasi sistem pendaftaran.
"Karena kami menyadari juga (masalah ini), contohnya terkait perpanjangan. Akses perpanjangan itu bisa dilakukan secara online mungkin bagi PMI yang ada di luar negeri. Yang itu sebelumnya tidak diatur dalam Permenaker Nomor 18," imbuh Nindya.
Meski begitu, ada beberapa layanan yang tidak bisa ditambahkan oleh Kemenaker karena berada di luar ranah ketenagakerjaan. Contohnya, penambahan dana pengobatan di dalam maupun luar negeri.
"Tapi kami perlu sampaikan juga ini balik lagi kepada prinsip-prinsip atau penyelenggaraan SJSN itu sendiri, karena memang seperti ada mungkin salah satu manfaat yang memang bukan masuk ke dalam ranahnya jaminan sosial," kata Nindya.
Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyatakan pemerintah terus berupaya mewujudkan pemenuhan hak Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) atau Pekerja Migran Indonesia (PMI) di setiap kegiatan penempatan, sejak sebelum dan selama bekerja, hingga setelah bekerja di luar negeri.
"Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan perlindungan PMI adalah mengubah paradigma yaitu bahwa PMI bukan lagi sebagai obyek, tetapi mereka merupakan subyek penempatan," kata Ida pada acara Congress Of Indonesia Diaspora (CID) bertema 'Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Masa Covid-19: Tantangan, Kontribusi, dan Harapan'.
Peneliti INFID Soegeng Bahagijo menyebut 67,7 persen Pekerja Migran Indonesia (PMI) atau TKI memang belum terlindungi dari sisi sosial. Pasalnya, mereka belum terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.
Hal itu tercermin dari hasil penelitian dari hasil penelitian yang dilakukan organisasinya terhadap buruh migran yang bekerja di Singapura, Hong Kong, Taiwan, Malaysia, Korea Selatan, Saudi Arabia, dan Kanada selama November hingga Desember 2021 .
"Menurut estimasi kami ada sekitar 60 persen lebih (PMI) yang belum tercakup, belum menjadi anggota dari BPJAMSOSTEK maupun BPJS Kesehatan. 60 persen lebih, jadi kalau jumlah pekerja migran ada sekitar 3-5 juta orang, kira-kira 60 persen dari itu," katanya.
Ia menjelaskan masalah itu dipicu beberapa faktor. Salah satunya keengganan pekerja mendaftarkan diri dalam program Jamsos pemerintah.
Keengganan juga banyak dipicu kurangnya ketersediaan informasi dan kesulitan mengakses layanan tersebut.
"Pertama, karena mereka tidak mendapatkan informasi. Kedua, ada yang memperoleh informasi tapi secara faktual nyata tidak bisa mendaftar atau tidak bisa mengakses layanan tersebut. Karena tidak ada alat atau aplikasinya yang dari luar negeri," jelas Soegeng.
Selain faktor itu, Soegeng menemukan fakta yang menunjukkan mayoritas pekerja migran merasa layanan jaminan sosial itu sendiri tidak memenuhi kebutuhan mereka, seperti jaminan hari tua (JHT) dan jaminan kesehatan.
"Secara sadar teman-teman PMI tidak mau ikut misal pun bisa, karena kurang cocok 'menu-menu' yang ada. Misalnya mereka lebih membutuhkan JHT tapi Jaminan Hari Tua sayangnya tidak termasuk dalam paket yang ditawarkan kepada PMI," katanya.
Lihat Juga : |
Faktor lain tambahnya, beberapa pekerja migran yang sudah memiliki jaminan asuransi dari negara asal. Karena jaminan itu, mereka merasa tidak membutuhkan jaminan sosial dari BPJS lagi.
Lebih merugikan lagi bagi yang sudah mendaftar menjadi anggota BPJS Ketenagakerjaan, namun tidak bisa mengklaim keuntungannya.
"Yang lain yang disebut itu banyak kasus mereka anggota tapi gagal mengklaim, gagal mendapatkan. Dan yang terakhir mereka tidak bisa mendaftar karena dianggap tidak memenuhi syarat daftar," sebut Soegeng.
(tdh/agt)